Thursday, 3 September 2015

sejarah surakarta

Sejarah Surakarta



Asal usul

Kebangkrutan VOC sebagai kongsi dagang Belanda berakhir dengan dibubarkannya kongsi tersebut pada tanggal 1 Januari 1800 oleh Pemerintahan Kerajaan Belanda.Tanggung jawab VOC di Nusantara ini juga lantas diambil alih oleh kerajaan.

Pada waktu pembubaran terjadi, di Jawa kerajaan yang terbagi sudah menjalani suksesi untuk yang pertama kalinya sejak Perjanjian Giyanti (1755) dan Perjanjian Salatiga (1757).Kasunanan diperintah oleh Pakubuwana IV, Kasultanan diperintah oleh Hamengkubuwana II dan Mangkunegaran di perintah oleh Mangkunegara II.

Ketiga penguasa di Jawa itu dalam menghadapi perubahan zaman mengambil sikap yang berbeda. Semacam menganut suatu ideologi yang mendorong untuk bekerja demi kepentingan negara dan kerajaannya.

Mangkunegara II mengambil inisiatif yang cepat dengan datangnya Daendels ke Jawa. Legiun yang berkekuatan 1150 personil dibentuk tahun 1808 sebagai wadah untuk menampung dan membangun kembali kekuatan militer peninggalan pendahulunya. Legiun ini terdiri dari pasukan infantri, kavaleri atau pasukan berkuda dan artileri. Sri Mangkunegara II adalah Kolonel pertama dalam pasukan Legiun Mangkunegaran dengan kata lain dalam sejarah Legiun ini Adipati kedua di Mangkunegaran adalah pemegang jabatan komandan yang pertama kali.

Sri Mangkunegara II meski memiliki alasan kuat untuk membenci Belanda tetapi demi pembangunan militer yang kuat untuk sementara waktu mendahulukan kepentingan kerajaan dengan jalan mengundang perwira-perwira militer Belanda yang profesional untuk melatih dan menggembleng Korps Mangkunegaran ini.

Kekuatan militer Mangkunegaran yang dinamakan sebagai Legiun Mangkunegaran memiliki fungsi, (1) sebagai alat legitimasi Mangkunegara yang bertahta (raja), (2) sebagai alat untuk mengamankan dan tujuan diplomasi dari Praja Mangkunegaran.

Struktur Militer

Pada awalnya memiliki 2 perwira senior dengan pangkat mayor, 4 perwira letnan ajudan, 9 perwira kapitein, 8 perwira letnan tua, 8 perwira letnan muda, 32 sersan bintara, 62 tamtama kopral, 900 flankier, 200 dragonder (dragoon), dan 50 steffel (total 185 perwira dan 1150 prajurit). Seragam yang dipergunakan adalah; topi syako dan jas hitam pendek untuk bintara dan prajurit. Topi syako untuk perwira, kemudian jas hitam, dan celana putih (KOMPAS, 4 Oktober 2010).

Dari riwayat perjalanan legiun, Pasukan militer dari Mangkunegaran semula berjumlah sebelas pasukan;
  1. Ladrang Mangungkung Estri: 60 pasukan berkuda, bersenjata karbin wedung.
  2. Jayeng sastra: 44 berkuda, bersenjata keris.
  3. Bijingan: 44 berkuda, keris.
  4. Kapilih: 44 berkuda, keris.
  5. Taramrudita: 44 berkuda, pedang.
  6. Margarudita: 44 berkuda, pedang.
  7. Tanuastra Nampil: 44 berkuda, keris.
  8. Mijen: 44 berkuda, panah, keris.
  9. Nyutrayu: 44 berkuda, panah, keris.
  10. Gulanggula: 44 darat, panah, keris.
  11. Sarageni: 44 darat, panah, keris.
Setelah perjanjian Salatiga 17 Maret 1757, pasukan yang berjumlah sebelas ini kemudian ditambah lagi tiga puluh enam pasukan yang terdiri dari;
  1. Trunakroda: 44 darat, keris, pedang.
  2. Trunayudaka: 44 darat, keris, pedang.
  3. Minakan: 44 darat, keris, pedang.
  4. Tambakbana: 44 darat, keris, pedang.
  5. Tambakbrata: 44 darat, keris, pedang.
  6. Dasawani: 44 darat, keris, cengking.
  7. Dasarambat: 44 darat, keris, cengking.
  8. Prangtandang: 44 darat, panah, lawung, kris.
  9. Tirtasana: 44 darat, panah, lawung.
  10. Gunasemita: 44 darat, panah, slam, keris.
  11. Gunatalikrama: 44 darat, panah, slam, keris.
  12. Ciptamiguna: 44 darat, panah, keris.
  13. Sabdamiguna: 44 darat, panah, keris.
  14. Dasamuka: 44 darat, panah.
  15. Dasarat: 44 darat, panah.
  16. Maranggi: 44 darat, tombak separo, senapan separo.
  17. Nirbita: 44 darat, tombak separo, senapan separo.
  18. Trunaduta: 44 darat, tombak, gambuh.
  19. Trunasura: 44 darat, tombak, gambuh.
  20. Handakalawung: 44 darat, senapan.
  21. Handakawatang: 44 darat, senapan.
  22. Kauman: 44 darat, bandil.
  23. Danuwiratana: 44 darat, bandil.
  24. Danuwirapaksa: 44 darat, bandil.
  25. Madyautama: 44 darat, panah, keris, carabali.
  26. Madyaprabata: 44 darat.
  27. Madyapratala: 44 darat.
  28. Madyaprajangga: 44 darat
  29. Katawinangun: 44 darat, panah, pentung.
  30. Purwawinangun: 44 darat, panah, pentung.
  31. Singakurda: 88 darat, lawung, sulam.
  32. Brajawani: 44 darat, lawung.
  33. Maradada: 44 darat, lawung.
  34. Prawirarana: 44 darat, lawung.
  35. Prawirasakti: 44 darat, lawung.
  36. Sanaputra: 88 berkuda, karbin, keris,

Pembangunan Kekuatan

Legiun Mangkunegaran merupakan suatu kesatuan militer terbaik/termodern di Nusantara pada zamannya, artinya dalam kurun waktu yang sezaman kekuatan militer kerajaan kerajaan Nusantara ini tidak ada yang mampu menandingi kemoderenannya dalam satuan militer. Pembangunan kekuatan militer kerajaan secara periodik mencapai pasang surut sesuai dengan zamannya;
  1. Tahun 1808 Legiun Mangkunegaran memiliki; 1.150 prajurit yang terdiri dari 800 prajurit infanteri (Fusilier), 100 prajurit penyerbu (Jagers), 200 prajurit kavaleri (berkuda), dan 50 prajurit rijdende artileri (KOMPAS, 4 Oktober 2010)
  2. Tahun 1816 jumlah personilnya ada 739 serdadu kemudian sebanyak 800 orang.
  3. Tahun 1825-1830 jumlah personil militernya ada 1500 serdadu
  4. Tahun 1831 Jumlahnya berkurang menjadi 1000 serdadu.
  5. Tahun 1888 Pasukan Artileri berkekuatan 50 tentara ditiadakan dengan alasan krisis keuangan.
Untuk membentuk dan membangun militer yang modern dan tangguh pada zamannya dijalankan bentuk-bentuk pencapaian sebagai berikut:
  1. Reorganisasi kemiliteran
  2. Disusun buku panduan Sekolah Prajurit 1855
  3. Mendatangkan pelatif profesional ketentaraan dari Eropa; 1 kapten infanteri, 4 bintara infanteri, 1 letnan dan 1 bintara kavaleri.
  4. Tahun 1935 Legiun Mangkunegaran dibagi dalam staf yang memiliki; ajudan atau intendan, dokter militer, dan korps musik, dan batalyon dibagi dengan 6 kompi serta unit mitraliur
Sumber (https://id.wikipedia.org/wiki/Legiun_Mangkunegaran)
Sunting (Arief Setya)

Wednesday, 2 September 2015

SEJARAH WONOGIRI

Sejarah Wonogiri


Hikayat
Pada zaman Kerajaan Demak ada seorang pertapa sakti bernama Ki Kesdik Wacana. Dia tinggal menyendiri di salah satu gua yang termasuk dalam jajaran Pegunungan Seribu. Pegunungan ini dikelilingi hutan yang  penuh dengan pepohonan lebat dan alam yang indah. Tidak heran jika penguasa Demak pada waktu itu menjadikan sebagai hutan wisata raja dan tempat perburuan binatang.

Pada waktu-waktu tertentu, datanglah rombongan raja dengan pengiring dan senopatinya. Mereka berburu binatang, terutama Rusa. Sebagian hasil dari perburuan itu ada yang dihabiskan di tempat dan sebagian lagi biasanya dibawa kembali ke istana. Bekas tempat pesta pora itu pada akhirnya menjadi sebuah desa yang sekarang dinamakan Desa Senang, yang berarti tempat untuk bersenang-senang. Sampai sekarang desa itu masih ada.

Pada suatu ketika Raja Demak mengirimkan seorang utusan bernama Raden Panji untuk menemui pertapa Ki Kesdik Wacana. Melalui utusannya, Raja meminta kepada Ki Kesdik Wacana untuk membawa beberapa ekor rusa untuk dijadikan sebagai binatang peliharaan di Istananya. Ki Kesdik Wacana menyanggupi permintaan Raja.

Dengan kesaktiannya Ki Kesdik Wacana memasukkan rusa-rusa itu dalam bumbung, rongga pada ruas pohon bambu petung dan kemudian disumbat. Bumbung tersebut kemudian diserahkan kepada Raden Panji disertai dengan pesan khusus.

"Raden Panji, bumbung ini berisi rusa-rusa yang dikehendaki oleh sang Prabu. Sengaja aku masukkan ke dalam bumbung ini supaya Raden Panji mudah membawanya. Lagi pula perjalanan dari sini ke Keraton cukup jauh. Namu ingat pesanku, jangan coba-coba sekalipun membuka isi dari bumbung tersebut sampai bumbung tersebut telah ada di hadapan Raja."

"Terima kasih bapak pertapa, saya akan selalu ingat pesan itu" kata Raden Panji dengan penuh hormat.

Dalam perjalanan pulang kembali ke Demak, pikiran Raden Panji dipenuhi oleh berbagai macam pertanyaan yang tidak bisa terjawab oleh Raden Panji sendiri. Menurut dia tidaklah masuk akal rusa-rusa yang diminta oleh sang Prabu dimasukkan ke bumbung ini. Ini sangat tidak logis.

Meskipun begitu, Raden Panji tetap ingat pesan Ki Kesdik Wacana untuk tidak membuka bumbung itu sampai di hadapan Raja. Raden Panji pun akhirnya membatalkan keinginannya untuk membuka bumbung tersebut.

Dalam perjalanan pulang, karena lelah Raden Panji singgah sebentar di sebuah hutan jati yang lebat. Saat melepas lelah, pandangan Raden Panji terus memandang bumbung tersebut dengan perasaan heran. Karena terus memandang bumbung tersebut, akhirnya Raden Panji membuka bumbung tersebut untuk mengetahui isinya.

Namun ketika sumbat bumbung dibuka, Raden Panji kaget bukan kepalang melihat kejadian aneh. Dalam keadaaan yang masih terbengong, tiba-tiba dari bumbung tersebut keluar hewan kecil yang makin lama makin membesar. Ternyata hewan-hewan itu adalah rusa-rusa yang berjumlah 16 ekor atau 8 pasang. Dan kesemuanya dengan cepat segera masuk ke hutan kembali.

Raden Panji yang segera sadar dari kekagetannya itu, langsung  segera berlari cepat ke hutan untuk mengejar rusa-rusa itu sampai kopiahnya jatuh ke tanah. Namun beliau tidak menghiraukan kejadian tersebut. Walau usahanya untuk mengejar rusa-rusa itu sia-sia.


Bukan main sedih dan menyesal hati Raden Panji akibat kecerobohannya itu. Raden Panji hanya bisa jatuh tertunduk malu dan lesu. Tidak tahu apa yang harus diperbuatnya. Mau balik ke Demak takut terken murka Raja. Mau kembali tempat pertapaan Ki Kesdik Wacana takut terkena makian.


Untunglah Ki Kesdik Wacana yang sakti dapat segera mengetahui peristiwa itu. Oleh karena itu Ki Kesdik segera menyusulnya. Dalam perjalanan menyusul Raden Panji, Ki Kesdik sempat menemukan kopiah Raden Panji yang terjatuh. Pertapa sakti itu pun berkata, wahai bumi dan langit saksikanlah bahwa tempat ini sejak saat ini aku beri nama Wana Kethu. Jadilah tempat itu sampai sekarang bernama Wana Kethu. 'Wana' berarti hutan dan 'Kethu' artinya kopiah.

Tidak berapa lama Ki Kesdik Wacana segera menemukan tempat Raden Panji. Melihat kehadiran Ki Kesdik Wacana, Raden Panji pun sangat kaget.

"Mohon ampun bapak, hamba telah berbuat lancang membuka sumbat bumbung itu dan mengakibatkan hewan-hewan yang ada di dalam bumbung itu keluar semua. Sekarang hamba pasrah menerima hukuman dari bapak pertapa" kata Raden Panji bersedih.

Mendengar pengakuan Raden Panji, sang pertapa merasa kasihan tetapi yang bersalah tetap harus menerima hukuman.

"Raden Panji, ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu adalah utusan raja yang telah diberi amanat. Sayang sekali kamu tidak dapat melaksanakan amanat itu. Oleh karena itu kamu tetap mendapat hukuman. Mulai sekarang, janganlah kamu berwujud manusia, tetapi jadilah kamu seekor  Rusa Wulung penunggu hutan jati ini" kata Bapak Pertapa

Begitu selesai ucapan bapak pertapa itu, seketiak tiba-tiba dunia menjadi gelap gulita dan di langit terdengar suara petir menyambar-nyambar. Semua seakan menjadi saksi atas segala ucapan bapak pertapa.

Memang benar keadaanya. Secara mendadak Raden Panji yang asalnya manusia berubah menjadi rusa jantan yang sangat gagah dengan bulu wulungnya. Raden Panji yang sudah berubah menjadi rusa itu menangis dan bersimpuh di hadapan pertapa sakti tersebut.

"Hukuman ini terlampau berat bagi Hamba, Bapak. Mohon bapak sudi mencabutnya," ratap rusa wulung penjelmaan Raden Panji.

Namun penyeselana tinggal penyesalan, Raden Panji harus mengalami kehidupan baru sebagai pemimpin pasangan rusa yang dahulu dilepasnya di Wana Kethu.

Sesudah peristiwa di Wana Kethu itu, Ki Kesdik Wacana naik ke atas bukit kecil tak jauh dari situ. Sesampai di puncak bukit itu, ia berhenti sesaat untuk mengagumi keindahahan alam di bawahnya.

"Bukit ini begitu indah. Besok kalau ada keadaan zama sudah ramai, bukit ini aku namai dengan Gunung Giri. sedangkan sungai yang mengalir dibawahnya aku namakan Sungai Wahyu. Sekarang nama sungai ini adalah Bengawan Solo." kata Ki Kesdik Wacana

Pada suatu ketika dalam kesempatan yang lain, Sunan Giri dalam pengembaraanya sampai di tempat yang dahulu dikunjungi Ki Kesdik Wacana. Sama dengan Ki Kesdik Wacana, Sunan Giri juga mengagumi keindahan alam hutan yang sangat luas dengan alamnya yang berbukit-bukit. Sunan Giri pun berkata "Besok kalau ada keramaian zaman, tempat ini aku namai Wonogiri".

Wono atau Wana berarti 'hutan', sedangkan Giri berarti 'Gunung'. Demikianlah tempat yang berhutan lebat dan bergunung-gunung itu sampai sekarang bernama Wonogiri yang terletak di Propinsi Jawa Tengah.

Sunting Arief Setya

Sejarah Asal Usul Banyumas

Sejarah Asal Usul Banyumas



Sejarah
Berbicara Kabupaten Banyumas pasti tidak lepas dari Desa Kejawar yang merupakan cikal bakal kabupaten dan karsidenan Banyumas. Karena di Desa Kejawar  R. Joko Kahiman dibesarkan oleh paman dan bibinya (Kyai Mranggi Semu dan Nyai Mranggi Semu / Rara Ngaisah). Hal ini karena ayahanda R. Joko Kahiman (R. Banyaksosro) meninggal pada usia muda, sedangkan R. Joko Kahiman masih kecil. Kyai Mranggi Semu merupakan pembuat warangka keris dan garan pacul. Terkait masa kecil dan dididiknya R. Joko Kahiman di Kejawar ini, maka tidak berlebihan kalau dikatakan Kyai dan Nyai Mranggi Semu sangat besar jasanya dalam menggembleng seorang Satria Banyumas yang nantinya akan dikenal karena kebesaran hatinya membagi empat Kadipaten Wirasaba sehingga disebut Adipati Mrapat, Adipati Warga Utama II, Adipati/Bupati Banyumas I.

Kyai Mranggi Semu Wafat dimakamkan di Desa Kejawar sedangkan Nyai Mranggi (Rara Ngaisah) di Desa Binangun terletak 10 km ke arah barat Alun-alun Kecamatan Banyumas, atau 5 km ke arah barat Kompleks Makam Bupati Banyumas di Dawuhan. Makam Nyai Mranggi (Rara Ngaisah) ini terletak di Dusun Wanasepi, Binangun, di atas bukit, di tengah rerindangan pohon (dahulu di tengah hutan, sehingga ada yang mengatakan Karangtengah, karena berada di atas bukit yang dikelilingi hutan). Rara Ngaisah, atau lebih dikenal sebagai Nyai Mranggi, adalah adik kandung R. Banyaksosro (ayahanda R. Joko Kahiman). Menurut cerita, setelah Kyai Mranggi Semu di Kejawar meninggal dunia, maka Nyai Mranggi mengembara di berbagai daerah sekitar Kecamatan Banyumas (kini), sampai tiba di Dusun Wanasepi, Desa Binangun, di mana dia meninggal dunia dan dimakamkan.

Riwayat singkat Raden Djoko Kahiman ( Bupati Banyumas ke I )
Djoko Kahiman atau Raden Djoko Semangoen adalah putra Raden Harjo Banjaksosro Adipati Pasir Luhur yang sejak kecil diasuh dan diambil anak angkat oleh Kjai dan Njai Mranggi Semoe di Kejawar. Kjai Mranggi sebenarnya namanya adalah Kjai Sambarta dan Njai Mranggi adalah Njai Ngaisah. Setelah Raden Djoko Kahiman dewasa lalu mengabdikan dirinya pada Kjai Adipati Wirasaba yang bernama Adipati Wargo Oetomo I dan akhirnya Raden Djoko Kahiman menjadi menantu Wargo Oetomo I, dinikahkan dengan putri sulungnya yang bernama Rara Kartimah.

Suatu ketika Adipati Wirasaba mendapat titah Sultan agar mempersembahkan salah seorang putrinya untuk dijadikan garwa ampean. Oleh Sang Adipati dipersembahkan putri bungsunya yang bernama Rara Soekartijah, yang pada masa kecilnya pernah dijodohkan dengan putra saudaranya yaitu Ki Ageng Tojareka, namun setelah  dewasa Rara Soekartijah menolak untuk berumah tangga dan bercerai sebelum berkumpul. Sakit hati Ki Ageng Toyareka kemudian membuat fitnah yang menyebabkan murka Sultan Pajang dan menyuruh Gandek supaya membunuh Adipati Wirasaba dalam perjalanan pulang tanpa penelitian terlebih dahulu. Tetapi sesudah diteliti menyesallah Sultan Pajang, kemudian menyuruh Gandek untuk menyusul Gandek terdahulu supaya membatalkan rencana membunuh Adipati Wargo Oetomo I, namun sudah terlambat. Tempat terjadinya di Desa Bener, maka Adipati Wargo Oetomo I juga terkenal dengan sebutan Adipati Sedo Bener, sedangkan makam dia di pasarehan Pakiringan, sebelah timur kota Banyumas, sekarang masuk wilayah Purworejo Klampok.

Penyesalan Sultan Pajang kemudian menitahkan memanggil putra Adipati Wirasaba supaya menghadap ke Kesultanan Pajang, namun semua putra Wargo Oetomo I tidak ada yang berani menghadap, akhirnya dengan jiwa heroik dan patriotis karena anggapannya akan dibunuh juga, berangkatlah Raden Djoko Kahiman menghadap Sultan Pajang. Di luar dugaan Raden Djoko Kahiman malah diangkat menjadi Adipati Wirasaba II dengan gelar Adipati Wargo Oetomo II untuk menggantikan Adipati Wargo Oetomo I yang telah wafat karena kesalah pahaman. Sultan Pajang memberikan segala kebijaksanaan Kadipaten Wirasaba kepada Wargo Oetomo II.

Dengan kebesaran jiwanya Adipati Wargo Oetomo II tidak ingin mementingkan dirinya sendiri (mukti sendiri), karena dia adalah anak mantu, maka mohon restu agar diperkenankan untuk membagi daerah kekuasaan Wirasaba menjadi 4 daerah. Menurut penelitian dan hasil seminar, hari, tanggal, bulan, tahun diangkatnya Raden Djoko Kahiman menjadi Adipati Wirasaba II yang bergelar Adipati Wargo Oetomo II adalah : Jumat Kliwon, tanggal 12 Rabiul awal 990 H bertepatan dengan tanggal 6 April 1582 M. Sekembalinya dari Pajang maka Raden Djoko Kahiman yang telah diangkat menjadi Adipati Wirasaba II, dia membagi daerah kekuasaannya menjadi empat, yaitu :
1.   Banjar Pertambakan diberikan kepada Kjai Ngabehi Wirojoedo
2.   Merden diberikan kepada Kjai Ngabehi Wirokoesoemo
3.   Wirasaba diberikan kepada Kjai Ngabehi Wargowidjojo
4.   Sedangkan dia R. Djoko Kahiman/Kjai Adipati Wargo Oetomo II/Warga Hutama II, merelakan kembali ke Kejawar dengan maksud mulai membangun pusat pemerintahn yang baru. Selanjutnya R. Djoko Kahiman sebagai Bupati Banyumas ke I.  Ketiga saudaranya berterimakasih dan tetap tunduk kepada Adipati Wargo Oetomo II yang diangkat sah oleh Sultan Pajang.

(Oleh Nurgiyanto, S.Pt.  Sastrawan Perunggasan Indonesia tinggal di Desa Kejawar) Diambil dari berbagai sumber  di Posting 11.12.13

Sunting Arief Setya

Sejarah Asal Usul PROBOLINGGO

Sejarah Asal Usul Probolinggo



Sejarah
Jika kita berbicara tentang sejarah lahirnya kota Probolinggo, kita tidak akan lepas dari sejarah kerajaan besar yang pernah berdiri di pulau Jawa, yaitu kerajaan Majapahit. Pada zaman pemerintahan Raja Majapahit ke IV, yaitu Prabu Radjasanagara atau Sri Nata Hayam Wuruk (1350-1389), daerah Probolinggo dikenal dengan nama “Banger”, sesuai dengan nama sungai yang mengalir ditengah daerah ini. Di dalam Kakawin Nagarakertagama, Prapanca, pujangga Majapahit yang terkenal menyebutkan bahwa  Banger, yang semula merupakan pedukuhan kecil di muara kali Banger berkembang menjadi Pakuwon yang dipimpin oleh seorang Akuwu di Sukodono di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Pada saat Bre Wirabumi (Minakjinggo) bertahta sebagai Raja Blambangan, Banger  masuk ke dalam daerah kekuasaan Bre Wirabumi. Perselisihan  menyebabkan Banger yang merupakan perbatasan antara Majapahit dan Blambangan menjadi kancah peperangan antara Bre Wirabumi (Blambangan) dengan Prabu Wikramawardhana (Majapahit) yang dikenal dengan sebutan “Perang Paregreg”.

Perjalanan Hayam Wuruk
 
Prapanca mencatat bahwa setelah berakhir musim dingin (musim hujan), , Hayam Wuruk sebagai raja sering mengadakan perjalanan untuk mengunjungi daerah terdekat seperti Jalagiri, Blitar, Polaman, Daha dan sebagainya, termasuk desa Perdikan Jalagiri yang terletak tidak jauh di sebelah Timur Majapahit, serta Wewe Pikatan di Candi Lima, dengan jalan kaki saja. Beliau juga suka berkunjung ke Palah untuk berziarah ke Candi Siwa, lalu ke Blitar , Jimur Silaahrit, Polaman, Daha, Janggalah.
  
Menurut Prapanca, Prabu Hayam Wuruk pernah mengunjungi Panjang diiringi oleh segenap pembesar pemerintah pusat pada tahun Saka 1275 (Masehi); serta Pantai Selatan pada tahun saka 1276 (Masehi 1357). Perjalanan tersebut menembus hutan belantara hingga ke Lodaya, Teto dan Sideman. Pada tahun Saka 1281 (Masehi 1359) bulan Badra (Agustus-September) Beliau juga mengunjungi Lumajang.
 
Dalam Kakawin Nagarakertagama (sebenarnya bernama Decawarnana), Prapanca memberikan uraian yang cukup lengkap tentang perjalanan ini hingga kita dapat mengetahui desa-desa dan daerah-daerah yang dikunjungi dalam perjalanan itu. Pupuh 80/4 menyatakan bahwa perjalanan keliling daerah yang dilakukan oleh Sri Nata Hayam Wuruk memiliki tujuan menghapus semua durjana dari wilayah kerajaan Majapahit.
     
Tentang perjalanan ini, R. Ng Yosodipura, Pujangga Surakarta Hadiningrat, menulis:
        
"Prabu Hayam Wuruk sajroning andong lelono anjajah praja ing tanggap warsa 1359, tahun candra nalungsure in jurang terpis, tumekeng perenging wuki Temenggungan tumuju ing argo Tengger ing Mada Karipura. Tumurun ing tepising wonodrikang banger ambeting warih, Sang Prabu manages ing ngarsanging Dewa, denyo nerusake lampah marang Sukodono ing wuwus nyuwun nuggroho supoyo tansah pinanjungan ing Hyang Widi bisa tansah kaleksanaan ing sediyo. Kang dadi ubayane ing wuri utusan pawongan ing Wono Banger babat Wono Gung mrih saranan ing rejaning projo ing wuri.
       
Kasigek caritaning lampah, Sang Prabu sank Pungguwo cantang balung kinen angungak ing projo sadeng sawusnyo prang pupuh. Dening Sang Prabu wus kinaryo penggalihan in sumangso kelempahan kang katur babat wono gung arso pinaringan aprasanti dadio tungguling projo anyar aselisih akuwu kadipaten Sukodono Lumajang, Prasetianing sang noto ing tepising wonodri katiti ing mongso wanchi purnomo angglewang (lingsir), respati arinipun. Sang noto Rejosonenoro andon lelono ing brang wetan tumekeng manguni Blambangan lan saindenging brang wetan."
 
Terjemahan dalam bahasa Indonesia kira-kira:
     
"Prabu Hayam Wuruk selama berkelana keliling negara pada tahun 1359, candra tahun: nalungsure ing jurang terpis (1359), tiba di lereng gunung Tumenggungan dan menuju ke gunung Tengger di Madakaripura.  Pada saat turun dan sampai di tepi sungai yang airnya berbau banger (anyir), Sang prabu memohon anugerah kepada Dewa agar dalam kelanjutan perjalanannya ke sukodono selalu dipayungi/ dilindungi Sang Hyang Widi dan bisa terlaksana sesuai rencana. Yang menjadi upayanya kemudian, sang prabu menyuruh orang-orang yang tinggal di (sekitar) Hutan Banger untuk membuka Hutan agar menjadi sarana berkembangnya praja/ wilayah/ kota/ daerah (banger) di kemudian hari.
       
Singkat cerita, Sang Prabu dan rombongan meninjau daerah Sadeng yang dulunya bekas ajang perang sadeng (berziarah???) dan kemudian Sang Prabu memutuskan mengangkat kepala daerah baru untuk daerah yang baru dibuka -Banger- dibawah pemerintahan Akuwu kadipaten Sukodono Lumajang. Janji (ketetapan/ keputusan) Sang Nata di tepi hutan tercatat pada bulan Purnama condong, hari Kamis. Sang Nata Rejosonegoro berkelana di daerah Timur sampai menjumpai Blambangan dan pelosok daerah timur."
  
Perintah Prabu Hayam Wuruk untuk membuka hutan Banger (babat alas Banger) tersebut jatuh pada tanggal 4 September 1359, dan ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Probolinggo.

Wilayah-wilayah Probolinggo Dalam Kakawin NagaraKertagama
  
Kakawin Nagarakertagama dengan jelas menyebut nama-nama desa (daerah) yang tidak asing lagi bagi masyarakat Probolinggo, yaitu Borang, Banger, dan Bermi. Nama-nama desa tersebut dituliskan pada Pupuh XXI/1 dan XXXIV/4. Desa Baremi (penduduk asli lebih mengenalnya dengan sebutan Bremi) terletak di Kelurahan Sukabumi Kota Probolinggo. Borang, sekarang bernama Kelurahan Wiroborang sebagai paduan antara Wirojayan dan Borang. Desa Banger yang terletak di antara Bremi dan Borang, sekarang merupakan pusat Kota Probolinggo.
  
Nama Banger sampai sekarang masih dikenal sebagai nama sungai yang mengalir tepat di tengah Kota Probolinggo. Sungai dengan aliran kecil yang lebih tampak seperti saluran pembuangan berbau busuk. Hingga tahun 1900-an, sungai ini masih jernih dan lebar sehingga banyak perahu dagang dari Madura dapat masuk berlabuh di pusat perdagangan yang terletak di sekitar jalan Siaman sekarang. Pada jaman dahulu tempat ini merupakan sebuah teluk, yang disebut “Tambak Pasir”. Kira-kira tahun 1928 sebagian dari sungai ini ditimbun (diurug) dan dijadikan jalan yang sebagian menjadi Jalan Siaman dan Jalan KH. Abdul Aziz.
 
Ada mitos yang cukup populer di kalangan masyarakat Probolinggo bahwa nama Kali Banger di berikan karena air sungai tersebut berbau banger / amis oleh darah Minak Jinggo yang dipenggal kepalanya oleh Raden Damarwulan. Jika yang dimaksud dengan pertarungan antara Minak Jinggo dengan Damarwulan ini adalah peperangan antara Bre Wirabumi dengan Raden Gajah yang terjadi pada tahun 1404-1406 (Perang Paregreg), maka anggapan tersebut secara logis tidak benar. Perang Paregreg terjadi pada tahun 1404-1406, sedangkan Prapanca dalam buku Nagarakertagama yang ditulis pada tahun 1365 sudah menyebut nama Banger. Mengingat nama Banger sudah ada kira-kira sejak tahun 1359 Masehi, maka mitos yang lebih "masuk akal" adalah bahwa bau banger itu disebabkan oleh bau darah dan mayat-mayat yang terjadi akibat peperangan antara Majapahit dengan Lumajang pada ”Pemberontakan Nambi, Aria Wiraraja” pada tahun 1316 Masehi.

Saturday, 22 August 2015

Ongko Rongko di Langen Harjo

Langen Harjo adalah Harapan


Om Swasti Astu 
Salam Rahayu

Ongko Rongko memiliki banyak kesibukan di bidang kebudayaan sehingga tidak jarang ongkorongko melakukan banyak penelusuran termasuk penelusuran di tanah langen harjo di sukoharjo yang masih memiliki kerabat dengan keraton mataram. pada tanggal 19 qgustus 2015. ongkorongko melakukan ekspedisi sejarah dengan tema Langen Harjo tidak sebatas misteri, Tetapi harapan. penelusuran itu dikarenakan tempat para leluhur yang lebih dekat dengan sang pencipta, tak jarang banyak orang melakukan ritual di tempat tersebut, huallahualam bissowaf, berikut foto-foto yang kita ambil dengan kegiatan ongkorongko, mulai dari diskusi sampai napak tilas.




Diskusi Ringan Dengan Sesepuh


Napak Tilas "Perijinan"


Napak Tilas "Bagian Harapan" Sumur Tua



Istilah Peradaban



Ruang Tidur Raja XI


Kamar Tidur Raja XII


Pangeran Haryo



Prosesi Belajar



Pohon Manggis Kramat 



Kamar Area Dalem Raja X


Mini Galeri



Pendidikan Nguri Nguri Budaya

Om Santi Santi Santi

Thursday, 13 August 2015

Bangunan Belanda

Karakter Arsitektur  Rumah Tinggal  Kolonial  Belanda
            “Arsitektur Kolonial”, sebagai sebuah istilah yang mengacu ke presepsi sejarah sosial, sering menyiratkan aturan dan kekuasaan kolonial-bangunan publik adalah sebuah ekspresi, sebuah symbol intimidasi dan pemaksaan.
            Pengertian karakter sevara umum, yaitu bagian dari suatu objek atau cirri-ciri suatu objek yang menjadi pembeda dari objek lainnya. Karakter dapat memberikan deskripsi fisik maupun nonfisik dengan mengkhususkan pada sifat-sifat, cirri-ciri khusus dan spesifik dari suatu objek, sehingga membuat objek tersebut mudah dikenali (Suryasari, 2003)
            Karakter dari sebuah objek arsitektural merupakan susunan dari keberagaman maupun intensitas cirri-ciri sebuah objek arsiteltural, serangakaian susunan elemen dasar pembentuk objek (missal terdiri dari bentuk, garis, warna, dan tekstur) yang membuat objek tersebut memiliki kualitas khusus yang dapat dibedakan dari objek lain.
            Pengertian karakter di atas lebih sebagai bagian dari karakter visual yang lebih memberikan penekanan kepada cirri-ciri visual yang hasilnya dapat dengan mudah dicerna dengan indera visual seorang pengamat. Pengertian karakter visual dapat dijelaskan sebagai karakter fisik yang dihasilkan oleh keteraturan visual dari pola-pola elemen dasar yang ada di dalamnya.
            Dengan demikian jika elemen-elemen dasarnya adalah  bentuk, garis, warna, dan tekstur, maka karakter visual adalah keteraturan visual dari pola-pola bentuk, garis, warna, dan tekstur. Adanya hubungan timbale balik antara pola-pola elemen dasar tersebut dapat digambarkan hubungannya dengan pengertian dominasi, keragaman, skontinuitas, dan lain-lain (Smardon dalam Suryasari, 2003).
            Karakter visual suatu bangunan dapat dikenali dengan cara menganalisis elemen-elemen visual yang tersusun dalam sebuah rancangan fasadnya. Rancangan fasade yang masih kompleks tersebut dikembalikan kedalam bentuk-bentuk murninya (pure shape) (Amheim dalam Suryasari, 2003). Menurut Smardon dalam Suryasari, 2003, analisis terhadap bangunan dapat dilakukan dengan dua tahap :
1.                  Tahap pertama, dilihat dalam suatu bangunan bagaimana pola-pola yang dibentuk oleh elemen-elemen dasarnya.
2.                  Tahap selanjutnya dengan mencari keterkaitan antar pola-pola tersebut dalam kerangka prinsip pengaturan maupun kesatuannya.
Karakter visual juga dapat diartikan sebagai identitas yang memberikan makna sebagai pembentuk cirri spesifik dari sesutau atau lingkungan. Karakter visual dapat dipandang sebagai keteraturan visual dari adanya pola-pola bentuk, garis, warna, dan tekstur, hubungan timabal antara pola-pola elemen dasar tersebut dapat digambarkan terkait dengan pengertian dominasi, keragaman, kontinuitas dan lain-lain (Satyaningsih, 2000).
Karakter harus mampu member visual secara lengkap sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, sehingga dapat dijabarkan ke dalam kata-kata, gambar. Maupun model tiga dimensi berupa gambar nyata terlihat dalam elemen-elemen pembentuk yang bersifat spesifik. Karakter bangunan sebagai objek arsitektural hendaknya mampu membuktikan melalui deskripsi baik verbal maupun grafis.
Karakter dari suatu karya arsitektur dapat ditemukan dengan melakukan analisis terhadap bangunan. Analisis terhadap bangunan dilakukan dengan dua tahap. Pertama adalah melihat dalam konteks bangunan, bagaimana pola-pola terbentuk oleh elemen dasarnya, dan tahap selanjutnya dengan mencari hubungan antara pola-pola tersebut dalam kerangka prinsip pengaturan maupun kesatuannya.

   Tinjauan Rumah Tinggal di Belanda
Gaya hidup orang-orang Eropa berbeda dengan gaya hidup di Negeri Belanda. Rumah-rumah disana terbuka dan segar, rumah-rumah itu biasanya dibangun agak saling berjauhan dengan pekarangan yang luas, baik di depan maupun di belakang. Dengan hanya satu lantai yang di lengkapi sebuah beranda di depan dan di belakang, ruang tengah yang bessar dengan kamar-kamar di kedua sisi, dan di halaman belakang ada dua sayap bangunan luar yang terhubung dengan rumah utama dengan koridor beratap.
Di kedua bangunan itu kita menemukan kamar pelayan, gudang, kamar mandi, kloset, kandang burung, dan kandang kuda. Dinding rumah, baik di luar maupun di dalam diplester dan dicat putih, sedangkan kaki dinding bagian depan rumah dicat dengan ter batu bara yang berwarna hitam, lantai terdiri atas ubin marmer berwarna merah atau biru, sedangkan lantai semen yang abu-abu atau berwarna sering ditutup dengan anyaman rotan. Terik cahaya matahari ditahan dengan jalusi dan tirai. Pekarangan depan, undakan, dan bagian depan beranda sering dihiasi dengan pot-pot bunga yang dicat putih atau merah jambu.
     Karakter Arsitektur Kolonial Belanda
Pada bangunan colonial Belanda terdapat karakter yang mempengaruhi tampilan fasade, karakter tersebut dapat dilihat dari beberapa elemen-elemen yang biasa digunakan sebagai pendukung fasade (Handinoto 1996 : 165-177), antara lain :
1.                  Gable/Gavel
Terletak pada bagian depan atau tampak bangunan, memiliki bentuk segitiga atau yang mengikuti bentuk dari atap bangunan itu sendiri.
2.                  Tower/Menara
Memiliki bentuk yang sangat beragam, mulai dari bentuk kotak segi empat, segi enam, bulat, hingga bentuk-bentuk geometris lainnya, dan beberapa di antara memadukanya denga gevel/depan. Tower/Menara biasanya berfungsi sebagai penanda pintu masuk bagian depan bangunan.
3.               Nok Acroteire/Hiasan Puncak Atap
Hiasan puncak atap biasanya digunakan pada rumah-rumah para petani di Belanda.
Pada awalnya di Negara Belanda hiasan puncak atap menggunakan alang-alang, namun di daerah Hindia Belanda hiasan ini dibuat menggunakan semen.
4.               Dormer/Cerobong Asap Semu
Memiliki fungsi untuk penghawaan dan pencahayaan pada bangunan. Memiliki bnetuk yang menjulang tinggi keatas, dormer di Negara aslinya, Belanda, biasanya digunakan sebagai ruang atau cerobong asap perapian.
5.               Windwijer/Penunjuk Angin
Berfungsi sebagai penunjuk arah angin, biasanya diletakan di atas nok dan dapat berputar mengikuti arah angin.
6.               Ballustrade
Memiliki fungsi sebagai pagar pembatas balkon, ataupun dek bangunan. Biasanya terbuat dari beton cor ataupun dari bahan metal.

 Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya
Surabaya, sebagai kota kolonial memiliki pusaka budaya berupa bangunan-bangunan kolonial yang bertebaran di seluruh penjuru kota. Kebutuhan fisik yang paling elelmenter pada setiap manusia ialah perlindungan terhadap pengaruh  iklim dan terhadap gangguan  keamanan agar  ia dapat tidur, makan, dan beristirahat dengan tenang. Sedangkan kebutuhan psikis yang primer adalah kebutuhan akan rasa aman dan perlindungan yang tetap serta lingkungan yang sehat dan nyaman. Untuk memenuhi semua kebutuhan tersebut, manusia membutuhkan sebuah tempat tinggal atau rumah.         
Sebagian besar bangunan kolonial yang ada di Kota Surabaya ini dibangun antara tahun 1915 - 1930. Dengan melakukan aplikasi terhadap gaya arsitektur kolonial modern setelah tahun 1920-an di Hindia Belanda yang  pada waktu itu sering disebut sebagai gaya ”Nieuwe Bouwen”, disesuaikan dengan iklim lokal dan teknik bangunan di Hindia Belanda waktu itu.

Gaya arsitektur  yang menonjol dengan ciri-ciri seperti : gevel horisontal, volume bangunan yang berbentuk kubus, warna putih, atap bangunan datar, tidak terdapat ornamen, rectangular spaces ruang dengan bentukan persegi panjang, adanya sudut-sudut bundar. Jadi sebagian gedung-gedung kolonial yang ada di Malang umurnya rata-rata kurang lebih baru 60 tahun.

Sunday, 10 May 2015

Kaos Sejarah Jepara Baratan



Sejarah

Pesta Baratan adalah alah satu tradisi karnaval masyarakat Jepara yang erat kaitannya dengan Ratu Kalinyamat. Kata “baratan” berasal dari sebuah kata Bahasa Arab, yaitu “baraah” yang berarti keselamatan atau “barakah” yang berarti keberkahan. Tradisi Pesta Baratan dilaksanakan setiap tanggal 15 Sya’ban (kalender Komariyah) atau 15 Ruwah (kalender Jawa) yang bertepatan dengan malam nishfu syakban. Kegiatan dipusatkan di Masjid Al Makmur Desa Kriyan Kecamatan Kalinyamatan. Ritualnya sederhana, yaitu setelah shalat maghrib, umat islam desa setempat tidak langsung pulang. Mereka tetap berada di masjid / musholla untuk berdo’a bersama. Surat Yasin dibaca tiga kali secara bersama-sama dilanjutkan shalat isya berjamaah. Kemudian memanjatkan doa nishfu syakban dipimpin ulama / kiai setempat, setelah itu makan (bancaan) nasi puli dan melepas arak-arakan. Kata puli berasal dari Bahasa Arab : afwu lii, yang berarti maafkanlah aku. Puli terbuat dari bahan beras dan ketan yang ditumbuk halus dan dimakan dengan kelapa yang dibakar atau tanpa dibakar.

Cerita versi pertama
Sultan Hadirin (Sayyid Abdurrahman Ar Rumi) berperang melawan Aryo Penangsang dan terluka. Kemudian Sang isteri Nyai Ratu Kalinyamat (Retno Kencono) membawanya pulang ke Jepara dengan dikawal prajurit dan dayang-dayang. Banyak desa di sepanjang jalan yang dilewati rombongan diberi nama peristiwa menjelang wafatnta Sultan Hadirin. Salah satu contohnya adalah saat rombongan melewati suatu desa, mendadak tercium bau harum semerbak (gondo) dari jasad Sultan, maka desa tersebut sekarang kita kenal dengan nama Purwogondo.

Cerita versi kedua
Setelah berperang melawan Aryo Penangsang, Sultan Hadirin tewas dan jenazahnya dibawa pulang oleh isterinya (Ratu Kalinyamat) pulang ke Jepara. Peristiwa itu berlangsung malam hari, sehingga masyarakat disepanjang jalan yang ingin menyaksikan dan menyambut rombongan Ratu Kalinyamat harus membawa alat penerangan berupa obor bagi rakyat jelata, sedangkan bagi kaum bangsawan dan orang cina membawa lampion.

Cerita versi ketiga
Setiap 15 hari sebelum Ramadhan (Nisfu Sya'ban) selalu di peringati dengan menyalakan lilin atau obor di depan rumah, dan anak muda membawa obor mengelilingi kampung, karena dahulu belum ada listrik, dan juga karena Nisfu Sya'ban merupakan penutupan buku catatan amal umat Islam, maka dengan di nyalakan obor di depan rumah dan membawa obor keliling kampung harapanya catatan amal warga sekampung diharapkan terang alias baik.

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Pesta_Baratan

Kaos Sejarah Klaten









Sejarah

Sunan Bayat (nama lain: Pangeran Mangkubumi, Susuhunan Tembayat, Sunan Pandanaran (II), atau Wahyu Widayat) adalah tokoh penyebar agama Islam di Jawa yang disebut-sebut dalam sejumlah babad serta cerita-cerita lisan. Ia terkait dengan sejarah Kota Semarang dan penyebaran awal agama Islam di Jawa, meskipun secara tradisional tidak termasuk sebagai Wali Sanga. Makamnya terletak di perbukitan ("Gunung Jabalkat") di wilayah Kecamatan Bayat, Klaten, Jawa Tengah, dan masih ramai diziarahi orang hingga sekarang. Dari sana pula konon ia menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat wilayah Mataram. Tokoh ini dianggap hidup pada masa Kesultanan Demak (abad ke-16).

Terdapat paling tidak empat versi mengenai asal-usulnya, namun semua sepakat bahwa ia adalah putra dari Ki Ageng Pandan Arang, bupati pertama Semarang. Sepeninggal Ki Ageng Pandan Arang, putranya, Pangeran Mangkubumi, menggantikannya sebagai bupati Semarang kedua. Alkisah, ia menjalankan pemerintahan dengan baik dan selalu patuh dengan ajaran – ajaran Islam seperti halnya mendiang ayahnya. Namun lama-kelamaan terjadilah perubahan. Ia yang dulunya sangat baik itu menjadi semakin pudar. Tugas-tugas pemerintahan sering pula dilalaikan, begitu pula mengenai perawatan pondok-pondok pesantren dan tempat-tempat ibadah.

Sultan Demak Bintara, yang mengetahui hal ini, lalu mengutus Sunan Kalijaga dari Kadilangu, Demak, untuk menyadarkannya. Terdapat variasi cerita menurut beberapa babad tentang bagaimana Sunan Kalijaga menyadarkan sang bupati. Namun, pada akhirnya, sang bupati menyadari kelalaiannya, dan memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatan duniawi dan menyerahkan kekuasaan Semarang kepada adiknya.

Pangeran Mangkubumi kemudian berpindah ke selatan (entah karena diperintah sultan Demak Bintara ataupun atas kemauan sendiri, sumber-sumber saling berbeda versi), didampingi isterinya, melalui daerah yang sekarang dinamakan Salatiga, Boyolali, Mojosongo, Sela Gringging dan Wedi (Klaten), menurut suatu babad. Konon sang pangeran inilah yang memberi nama tempat-tempat itu dan di setiap perjalanannya dia mengajarkan cara bercocok tanam kepada warga sekitar). Ia lalu menetap di Tembayat, yang sekarang bernama Bayat, Klaten, dan menyiarkan Islam dari sana kepada para pertapa dan pendeta di sekitarnya. Karena kesaktiannya ia mampu meyakinkan mereka untuk memeluk agama Islam. Oleh karena itu ia disebut sebagai Sunan Tembayat atau Sunan Bayat.

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Sunan_Bayat

Thursday, 23 April 2015

Kaos Sejarah Madiun



Sejarah

Satu catatan emas untuk sejarah Madiun, bahwa saat Mata­ram di bawah Sutowidjojo berusaha untuk memperluas dan menundukkan Purabaya di tahun 1586, kepemimpinan Kabupaten Purabaya telah dise­rahkan dari tangan Pangeran Timoer yang juga Panembahan Rama kepa­da putrinya RADEN AYU RETNO DJUMILAH.

Putri Purabaya yang ternyata cukup tangkas ini bukan saja mendapat limpahan kepemimpinan sebagai Bupati Purabaya ke II di tahun 1586, te­tapi juga bertindak sebagai Panglima Perang dari Kabupaten Purabaya. Panglima Perang Purabaya yang didukung oleh beberapa Bupati di kawasan Mancanagara, sekurang-kurangnya 15 daerah kabupaten di ka­wasan timur, ternyata sanggup mematahkan kekuatan lawan yang tak lain pasukan Mataram.

Mataram yang telah dua kali patah dalam serangannya ke Purabaya secermat itu memperhitungkan kembali rencana serangan yang ke tiga. Serangan Mataram ke tiga kalinya ke Purabaya dilakukan pada tahun 1590. Taktik yang sudah diperhitungkan sebelumnya oleh pasukan Mataram un­tuk menyusup dengan serangan pendadakan serta berhasil menyusup masuk pusat kota dan istana Wonorejo yang saat itu hanya dipertahankan oleh Manggalaning Perang – Raden Ayu Retno Djumilah.

Pasukan Purabaya lumpuh dan banyak jatuh korban, sementara yang lain lari ke arah timur. Pertempuran satu lawan satu tak dapat dihindarkan lagi antara Mang­galaning Perang Purabaya Raden Ayu Retno Djumilah dengan pimpinan pasukan Mataram yang tak lain adalah Sutowidjojo. Manggalaning Perang Purabaya cukup gigih mempertahankan dengan senjata pusaka sebagai andalan panglima perang ini yang berupa sebilah keris bernama “Kyai Kala Gumarang”. pusaka ini juga sebagai pusaka andalan Kabupaten Purabaya atau juga disebut sebagai “Pusaka Tundung Madiun”.

Pertarungan satu lawan satu antar dua pemimpin pasukan ini berjalan cukup seru dan berlangsung di sekitar sebuah Sendang tidak jauh dari Istana Kabupaten Wonorejo
Kelenggahan yang berakibat pindahnya pusaka andalan dari Panglima perang Retno Djumilah ke tangan Sutowidjoyo menyebabkan bertekuk lu­tutnya Wanita Perkasa yang Bupati dan bertindak sebagai Panglima Pe­rang Pusaka andalan Kyai Kala Gumarang yang dalam detik kelenggahan berpindah tangan meruntuhkan kekuatan wanita perkasa ini dan “menyerah kalah” ke hadapan Sutowidjojo.

Panglima Perang yang juga Bupati ke II Purabaya ini menjadi tawa­nan perang. Oleh Sutowidjojo panglima perang yang sudah menyerah ini kemudian dibawa masuk ke Istana Mataram sebagai “tawanan perang”. Dikemudian nanti Panglima Perang yang juga Bupati dan Wanita Per­kasa mi akhirnya dipersunting sebagai permaisuri Mataram. Kekalahan Retno Djumilah dalam perang dan laga satu lawan satu itu terjadi pada 16 Nopember 1590 yang kemudian menyebabkan bergantinya nama Purabaya menjadi Madiun. Penggantian nama PURABAYA menjadi MADIUN terjadi pada : Hari JUMAT LEGI tanggal 16 Nopember Tahun 1590 M. atau Hari JUMAT LEGI Tanggal 21 Sura Tahun Dai 1510 Jawa.

Sumber : https://jawatimuran.wordpress.com/2012/08/29/bupati-ke-2-kabupaten-madiun/







Sejarah

Madiun merupakan suatu wilayah yang dirintis oleh Ki Panembahan Ronggo Jumeno atau biasa disebut Ki Ageng Ronggo. Asal kata Madiun dapat diartikan dari kata "medi" (hantu) dan "ayun-ayun" (berayunan), maksudnya adalah bahwa ketika Ronggo Jumeno melakukan "Babat tanah Madiun" terjadi banyak hantu yang berkeliaran. Penjelasan kedua karena nama keris yang dimiliki oleh Ronggo Jumeno bernama keris Tundhung Medhiun. Pada mulanya bukan dinamakan Madiun, tetapi Wonoasri.

Sejak awal Madiun merupakan sebuah wilayah di bawah kekuasaan Kesultanan Mataram. Dalam perjalanan sejarah Mataram, Madiun memang sangat strategis mengingat wilayahnya terletak di tengah-tengah perbatasan dengan Kerajaan Kadiri (Daha). Oleh karena itu pada masa pemerintahan Mataram banyak pemberontak-pemberontak kerajaan Mataram yang membangun basis kekuatan di Madiun. Seperti munculnya tokoh Retno Dumilah.

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Madiun