Sejarah
Jika kita berbicara tentang sejarah lahirnya kota Probolinggo, kita
tidak akan lepas dari sejarah kerajaan besar yang pernah berdiri di
pulau Jawa, yaitu kerajaan Majapahit. Pada zaman pemerintahan Raja
Majapahit ke IV, yaitu Prabu Radjasanagara atau Sri Nata Hayam Wuruk
(1350-1389), daerah Probolinggo dikenal dengan nama “Banger”, sesuai
dengan nama sungai yang mengalir ditengah daerah ini. Di dalam Kakawin
Nagarakertagama, Prapanca, pujangga Majapahit yang terkenal menyebutkan
bahwa Banger, yang semula merupakan pedukuhan kecil di muara kali
Banger berkembang menjadi Pakuwon yang dipimpin oleh seorang Akuwu di
Sukodono di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Pada saat Bre Wirabumi (Minakjinggo) bertahta sebagai Raja Blambangan, Banger masuk ke dalam daerah kekuasaan Bre Wirabumi. Perselisihan menyebabkan Banger yang merupakan perbatasan antara Majapahit dan Blambangan menjadi kancah peperangan antara Bre Wirabumi (Blambangan) dengan Prabu Wikramawardhana (Majapahit) yang dikenal dengan sebutan “Perang Paregreg”.
Perjalanan Hayam Wuruk
Prapanca mencatat bahwa setelah berakhir musim dingin (musim hujan), , Hayam Wuruk sebagai raja sering mengadakan perjalanan untuk mengunjungi daerah terdekat seperti Jalagiri, Blitar, Polaman, Daha dan sebagainya, termasuk desa Perdikan Jalagiri yang terletak tidak jauh di sebelah Timur Majapahit, serta Wewe Pikatan di Candi Lima, dengan jalan kaki saja. Beliau juga suka berkunjung ke Palah untuk berziarah ke Candi Siwa, lalu ke Blitar , Jimur Silaahrit, Polaman, Daha, Janggalah.
Menurut Prapanca, Prabu Hayam Wuruk pernah mengunjungi Panjang diiringi oleh segenap pembesar pemerintah pusat pada tahun Saka 1275 (Masehi); serta Pantai Selatan pada tahun saka 1276 (Masehi 1357). Perjalanan tersebut menembus hutan belantara hingga ke Lodaya, Teto dan Sideman. Pada tahun Saka 1281 (Masehi 1359) bulan Badra (Agustus-September) Beliau juga mengunjungi Lumajang.
Dalam Kakawin Nagarakertagama (sebenarnya bernama Decawarnana), Prapanca memberikan uraian yang cukup lengkap tentang perjalanan ini hingga kita dapat mengetahui desa-desa dan daerah-daerah yang dikunjungi dalam perjalanan itu. Pupuh 80/4 menyatakan bahwa perjalanan keliling daerah yang dilakukan oleh Sri Nata Hayam Wuruk memiliki tujuan menghapus semua durjana dari wilayah kerajaan Majapahit.
Tentang perjalanan ini, R. Ng Yosodipura, Pujangga Surakarta Hadiningrat, menulis:
"Prabu Hayam Wuruk sajroning andong lelono anjajah praja ing tanggap warsa 1359, tahun candra nalungsure in jurang terpis, tumekeng perenging wuki Temenggungan tumuju ing argo Tengger ing Mada Karipura. Tumurun ing tepising wonodrikang banger ambeting warih, Sang Prabu manages ing ngarsanging Dewa, denyo nerusake lampah marang Sukodono ing wuwus nyuwun nuggroho supoyo tansah pinanjungan ing Hyang Widi bisa tansah kaleksanaan ing sediyo. Kang dadi ubayane ing wuri utusan pawongan ing Wono Banger babat Wono Gung mrih saranan ing rejaning projo ing wuri.
Kasigek caritaning lampah, Sang Prabu sank Pungguwo cantang balung kinen angungak ing projo sadeng sawusnyo prang pupuh. Dening Sang Prabu wus kinaryo penggalihan in sumangso kelempahan kang katur babat wono gung arso pinaringan aprasanti dadio tungguling projo anyar aselisih akuwu kadipaten Sukodono Lumajang, Prasetianing sang noto ing tepising wonodri katiti ing mongso wanchi purnomo angglewang (lingsir), respati arinipun. Sang noto Rejosonenoro andon lelono ing brang wetan tumekeng manguni Blambangan lan saindenging brang wetan."
Terjemahan dalam bahasa Indonesia kira-kira:
"Prabu Hayam Wuruk selama berkelana keliling negara pada tahun 1359, candra tahun: nalungsure ing jurang terpis (1359), tiba di lereng gunung Tumenggungan dan menuju ke gunung Tengger di Madakaripura. Pada saat turun dan sampai di tepi sungai yang airnya berbau banger (anyir), Sang prabu memohon anugerah kepada Dewa agar dalam kelanjutan perjalanannya ke sukodono selalu dipayungi/ dilindungi Sang Hyang Widi dan bisa terlaksana sesuai rencana. Yang menjadi upayanya kemudian, sang prabu menyuruh orang-orang yang tinggal di (sekitar) Hutan Banger untuk membuka Hutan agar menjadi sarana berkembangnya praja/ wilayah/ kota/ daerah (banger) di kemudian hari.
Singkat cerita, Sang Prabu dan rombongan meninjau daerah Sadeng yang dulunya bekas ajang perang sadeng (berziarah???) dan kemudian Sang Prabu memutuskan mengangkat kepala daerah baru untuk daerah yang baru dibuka -Banger- dibawah pemerintahan Akuwu kadipaten Sukodono Lumajang. Janji (ketetapan/ keputusan) Sang Nata di tepi hutan tercatat pada bulan Purnama condong, hari Kamis. Sang Nata Rejosonegoro berkelana di daerah Timur sampai menjumpai Blambangan dan pelosok daerah timur."
Perintah Prabu Hayam Wuruk untuk membuka hutan Banger (babat alas Banger) tersebut jatuh pada tanggal 4 September 1359, dan ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Probolinggo.
Wilayah-wilayah Probolinggo Dalam Kakawin NagaraKertagama
Kakawin Nagarakertagama dengan jelas menyebut nama-nama desa (daerah) yang tidak asing lagi bagi masyarakat Probolinggo, yaitu Borang, Banger, dan Bermi. Nama-nama desa tersebut dituliskan pada Pupuh XXI/1 dan XXXIV/4. Desa Baremi (penduduk asli lebih mengenalnya dengan sebutan Bremi) terletak di Kelurahan Sukabumi Kota Probolinggo. Borang, sekarang bernama Kelurahan Wiroborang sebagai paduan antara Wirojayan dan Borang. Desa Banger yang terletak di antara Bremi dan Borang, sekarang merupakan pusat Kota Probolinggo.
Nama Banger sampai sekarang masih dikenal sebagai nama sungai yang mengalir tepat di tengah Kota Probolinggo. Sungai dengan aliran kecil yang lebih tampak seperti saluran pembuangan berbau busuk. Hingga tahun 1900-an, sungai ini masih jernih dan lebar sehingga banyak perahu dagang dari Madura dapat masuk berlabuh di pusat perdagangan yang terletak di sekitar jalan Siaman sekarang. Pada jaman dahulu tempat ini merupakan sebuah teluk, yang disebut “Tambak Pasir”. Kira-kira tahun 1928 sebagian dari sungai ini ditimbun (diurug) dan dijadikan jalan yang sebagian menjadi Jalan Siaman dan Jalan KH. Abdul Aziz.
Ada mitos yang cukup populer di kalangan masyarakat Probolinggo bahwa nama Kali Banger di berikan karena air sungai tersebut berbau banger / amis oleh darah Minak Jinggo yang dipenggal kepalanya oleh Raden Damarwulan. Jika yang dimaksud dengan pertarungan antara Minak Jinggo dengan Damarwulan ini adalah peperangan antara Bre Wirabumi dengan Raden Gajah yang terjadi pada tahun 1404-1406 (Perang Paregreg), maka anggapan tersebut secara logis tidak benar. Perang Paregreg terjadi pada tahun 1404-1406, sedangkan Prapanca dalam buku Nagarakertagama yang ditulis pada tahun 1365 sudah menyebut nama Banger. Mengingat nama Banger sudah ada kira-kira sejak tahun 1359 Masehi, maka mitos yang lebih "masuk akal" adalah bahwa bau banger itu disebabkan oleh bau darah dan mayat-mayat yang terjadi akibat peperangan antara Majapahit dengan Lumajang pada ”Pemberontakan Nambi, Aria Wiraraja” pada tahun 1316 Masehi.
Sumber (http://sraksruk.blogspot.com/2012/11/sejarah-kabupaten-probolinggo-jawa-timur.html)
Sunting (Arief Setya)
Sunting (Arief Setya)
desainnya keren mas
ReplyDelete