Sunday, 18 March 2018

Sejarah Sunan Kalijaga





SUNAN KALIJAGA – Salah satu tokoh Wali Songo yang sangat berperan dalam menyebarkan dakwah di Pulau Jawa, Beliau mampu memasukan pengaruh ajaran Islam pada tradisi Jawa. Pada artikel ini kita akan membahas tentang riwayat atau sejarah Sunan Kalijaga.
Sunan Kalijaga merupakan satu dari sembilan Wali yang memiliki perbedaan cukup menonjol dari para Wali lainnya. Perbedaan tersebut diantaranya yaitu dalam berpakaian dan dalam berdakwah menyebarkan Islam.
Dalam berpakaian Sunan Kalijaga lebih sering memakai pakaian yang berwarna hitam dengan blangkon khas Jawa yang Beliau pakai. Hal ini menandakan keluasan serta kesederhanaan Beliau.
Dalam berdakwah atau menyebarkan ajaran agama Islam, Sunan Kalijaga juga berbeda dengan para Wali lainnya. Beliau cenderung lebih halus atau pelan-pelan dalam memasukan ajaran Islam ke dalam kebiasaan atau tradisi Jawa. Sampai akhirnya Islam bisa masuk ke Pulau Jawa seperti sekarang ini.

Riwayat atau Sejarah Sunan Kalijaga

wali songo sunan kalijaga
informazone.com
Menurut sejarah yang dikenal di masyarakat umum, Sunan Kalijaga memiliki nama asli yaitu Raden Mas Syahid atau Raden Said. Beliau anak seorang Adipati Tuban yang bernama Ki Tumenggung Wilatikta, namun ada juga yang mengatakan bahwa nama lengkap ayah Raden Mas Syahid adalah Raden Sahur Tumenggung Wilatikta.
Nama-nama lain dari Sunan Kalijaga adalah Raden Mas Syahid atau Raden Said, Raden Abdurahman, Lokojoyo, dan Pangeran Tuban. Pada masa mudanya, Raden Mas Syahid merupakan seorang yang giat dalam mencari ilmu. Terutama ilmu Agama Islam, Beliau pernah berguru kepada Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Ampel.
Menurut cerita yang ada, Beliau diperkirakan lahir di tahun 1450. Asal-usul atau silsilah beliau ada yang berpendapat Raden Said atau Sunan Kalijaga merupakan orang pribumi Jawa asli. Pendapat tersebut berdasarkan pada cerita Babad Tuban yang menceritakan tentang penguasa Tuban pada tahun 1500 M.
Didalamnya diceritakan bahwa Raden Said merupakan cucu dari penguasa Islam pertama di Tuban yaitu ayahnya Sunan Kalijaga.  Hal itu berdasarkan pada catatan Tome Pires pada tahun 1468 – 1540, Tome Pires merupakan seorang penulis dari Portugis yang pernah mencatat sejarah Tuban di periode 1468 – 1540.
Sedangkan pendapat kedua mengatakan Sunan Kalijaga merupakan keturunan Arab yang memiliki silsilah sampai ke Nabi Muhammad SAW. Sejarawan yang bernama De Graaf berpendapat bahwa Sunan Kalijaga mempunyai silsilah dengan paman Nabi Muhammad SAW yakni Ibnu Abbas.
Menurut sejarah Sunan Kalijaga memiliki usia sampai 100 tahun, dengan begitu berarti Beliau mengalami berakhirnya kekuasan kerajaan Majapahit yang berakhir pada tahun 1478. Selain itu. Beliau juga mengalami masa Kesultanan Demak, Cirebon, dan Banten.
Bahkan juga merasakan masa Kerajaan Pajang yang berdiri pada tahun 1546, dan juga masa Kerajaan Mataram yang dipimpin oleh Panembahan Senopati. Beliau juga diriwayatkan ikut serta dalam merancang pembangunan Masjid Agung Demak dan Masjid Agung Cirebon.
Sebagai bukti disitu terdapat tiang utama yang merupakan hasil kreasi dari Sunan Kalijaga.

Keturunan Sunan Kalijaga

trijagrafika.blogspot.co.id
Ada salah satu riwayat yang mengatakan bahwa Raden Said atau Sunan Kalijaga menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishak. Yang mana Maulana Ishak memiliki dua orang anak yakni Dewi Saroh dan Sunan Giri. Setelah menikah Beliau Sunan Kalijaga di karuniai 3 yakni R. Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rakayuh, dan Dewi Sofiah.
Dalam riwayat lain yang tertera di isi buku PUSTAKA DARAH AGUNG, Sunan Kalijaga pernah menikah dengan Dewi Sarokah, putri dari Sunan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Yang mana Sunan Gunung Jati juga merupakan salah satu guru dari Sunan Kalijaga.
Setelah menikah dengan Dewi Sarokah, Beliau dikaruniai 5 anak yakni, Kanjeng Ratu Pembayun, Nyai Ageng Pahenggak, Sunan Hadi, Raden Abdurrahman, dan Nyai Ageng Ngerang.

Kehidupan Raden Said Sebelum Menjadi Wali

iliketowastemytime.com
Ada salah satu cerita yang meriwayatkan asal-usul nama Sunan Kalijaga. Diceritakan sebelum mendapatkan nama Sunan Kalijaga atau Gelar Walisongo, Raden Said merupakan seorang yang sudah mengenal Islam sejak kecil, yakni melalui guru agama di Tuban.
Raden Said merupakan putra Adipati yang dekat dan peduli dengan rakyat jelata, hal ini dibuktikan dengan masa muda Beliau yang pernah membela rakyat jelata di masa yang sulit.
Pada masa itu, terjadi musim kemarau panjang yang membuat para rakyat jelata gagal panen. Namun, dalam waktu yang bersamaan, pemerintahan pusat sedang membutuhkan dana yang besar untuk mengatasi pembangunan atau roda pemerintahan. Akhirnya mau tidak mau rakyat jelata harus mau untuk membayar pajak yang tinggi.
Melihat keadaan yang semakin kontradiksi antara pemerintahan dengan rakyat jelata, Raden Said yang dekat dengan rakyat jelata merasa harus membantu rakyat jelata. Akhirnya Raden Said tanpa pikir panjang melakukan perbuatan yang tidak terpuji demi menolong rakyat jelata.
Beliau mencuri hasil bumi yang tersimpan di gudang penyimpanan istana ayahnya.
Hasil bumi tersebut merupakan hasil dari upeti rakyat jelata yang akan disetorkan ke pemerintahan pusat. Biasanya malam-malam Raden Said membaca Al-Quran di kamarnya, kini Beliau keluar dan melakukan aksinya lalu langsung membagikan hasil aksinya tersebut secara tersembunyi-tersembunyi tanpa sepengetahuan rakyat jelata sekalipun.
Namun, seiring berjalannya waktu, penjaga gudang pun merasa curiga melihat barang-barang yang akan disetorkan ke pemerintahan pusat semakin berkurang. Melihat keadaan tersebut penjaga gudang pun semakin ketat dalam menjaga gudang penyimpanan tersebut.
Hingga pada suatu malam penjaga gudang merasa penasaran dengan masalah tersebut, dan sengaja meninggalkan gudang lalu mengintip dari kejauhan. Ternyata penjaga gudang tersebut berhasil memergoki aksi Raden Said, dan akhirnya Raden Said ditangkap dan dibawa ke hadapan ayahnya.
Raden Said pun dimarahi habis-habisan dan Beliau juga mendapatkan hukuman cambuk sebanyak dua ratus kali di tangannya karena mencuri. Selain itu, Raden Said juga disekap selama beberapa hari tidak boleh keluar rumah.

Mencuri untuk Menolong Rakyat Jelata

focusklaten.net
Setelah lepas dari sekapan, Raden Said tidak merasakan jera atas hukuman yang menimpanya. Beliau memutuskan untuk melakukan aksinya di luar istana, targetnya yaitu orang-orang kaya yang pelit. Hasil aksinya pun dibagikan lagi ke para rakyat jelata, karena Beliau melakukan aksi ini dengan niat untuk membantu rakyat jelata. Dalam aksinya di luar istana, Raden Said mengenakan pakaian serba hitam dan memakai topeng.
Hingga suatu saat ada perampok asli yang mengetahui aksi beliau, dan akhirnya Beliau dijebak oleh si perampok asli. Di suatu malam, perampok tersebut melakukan perampokan sekaligus memperkosa wanita cantik dengan memakai pakaian yang sama seperti yang dipakai oleh Raden Said saat melakukan aksi. Di saat Raden Said mau menolong wanita tersebut, perampok yang memperkosa itu berhasil meloloskan diri.
Dengan pakaian yang sama yaitu serba hitam dan memakai topeng, Raden Said pun terjebak di tempat tersebut. Hingga akhirnya Raden Said dikambing hitamkan oleh warga yang saat itu sudah mengepungnya. Dengan kejadian ini pun ayah Raden Said semakin kecewa dan langsung mengusirnya.

Tinggal di Hutan Jatiwangi

Setelah diusir Raden Said tinggal di hutan yang bernama Jatiwangi, namun Beliau tetap melakukan aksinya untuk menolong rakyat jelata. Namun, dengan membuang nama aslinya, Beliau memakai nama Brandal Lokajaya selama tinggal di hutan tersebut.
Suatu ketika lewatlah seorang berpakaian serba putih dengan membawa tongkat yang gagangnya berkilau seperti emas. Beliau pun bermaksud melakukan aksi untuk merampas tongkat tersebut, namun kejadian tersebut malah membuat Raden Said tersentuh dan tersentak hatinya.

Kisah Pertemuan dengan Sunan Bonang

islamcendekia.com
Ketika Raden Said merebut tongkat dari orang berbaju putih secara paksa menyebabkan orang tersebut tersungkur jatuh. Sambil mengeluarkan air mata dan tanpa suara orang itu pun bangun dengan susah payah. Sedangkan, Raden Said saat itu mengamati tongkat itu, sadar bahwa tongkat itu tidak terbuat dari emas.
Heran melihat orang berbaju putih itu menangis, akhirnya Raden Said pun mengembalikan tongkatnya. Namun orang itu berkata “Bukan, tongkat itu yang aku tangisi” sambil menunjukkan rumput di telapak tangannya. “Perhatikanlah Aku sudah berbuat dosa, melakukan perbuatan sia-sia. Rumput ini tercabut saat aku jatuh tadi.”
“Cuma beberapa helai rumput saja. Kamu merasa berdosa?” tanya Raden Said heran.
“Ya , memang berdosa! Karena kamu mencabutnya tanpa sebuah kebutuhan. Apabila untuk makanan ternak itu tidak apa. Namun apabila untuk sebuah kesia-siaan sungguh sebuah dosa!” jawab orang itu.
Kemudian Raden Said tentang apa yang sedang ia perbuat di tengah hutan seperti ini. Setelah mengetahui perbuatan Raden Said, orang itu mengatakan sebuah perumpamaan terhadap perbuatan Raden Said.
Apa yang dilakukan Raden Said ibarat mencuci pakaian yang kotor menggunakan air kencing yang hanya akan menambah kotor dan bau pakaian tersebut. Raden Said pun tercekat mendengar pernyataan orang berbaju putih tersebut.
Raden Said pun semakin dibuat terpukau dengan keajaiban yang ditunjukkan dengan mengubah sebuah pohon aren menjadi pohon emas. Karena penasaran dan kagum, Raden Said memanjat pohon aren itu. Namun ketika hendak mengambil buahnya, tiba-tiba pohon itu rontok mengenai kepalanya. Akhirnya Beliau jatuh ke tanah dan pingsan.

Berguru kepada Sunan Bonang

nasirullahsitam.com
Setelah bangun dari pingsan, Raden Said pun sadar bahwa orang berbaju putih itu bukan orang biasa. Sehingga timbul keinginan untuk belajar kepadanya. Akhirnya dikejarnya orang berbaju putih itu sekuat tenaga. Setelah berhasil mengejarnya ia pun menyampaikan keinginannya untuk berguru kepada orang berbaju putih itu.
Kemudian diberikan sebuah syarat yaitu Raden Said diperintahkan untuk menjaga tongkat yang dibawa dan tidak boleh beranjak sebelum orang itu kembali menemuinya. Tiga tahun kemudian datanglah orang itu menemui Raden Said yang ternyata masih menjaga tongkat yang ditancapkan di pinggir kali (sungai).
Orang berbaju  putih itu ternyata adalah Sunan Bonang. Kemudian Raden Said diajak pergi ke Tuban untuk diberi pelajaran agama. Sebagian orang percaya bahwa dari kisah inilah nama Sunan Kalijaga diberikan kepada Raden Said. Karena kata Kalijaga terdiri dari “kali” berarti sungai dan “jaga” berarti menjaga.

Menjadi Seorang Wali

wali songo
forummuslim.org
Raden Said yang lebih dikenal dengan nama Sunan Kalijaga merupakan anak muda yang cerdas, terampil, pemberani, dan berjiwa besar. Beliau mempelajari berbagai ilmu dari gurunya antara lain ilmu filsafat, syariah, kesenian, dan sebagainya.
Sebab ilmunya yang luas, Sunan Kalijaga dikenal oleh masyarakat sebagai orang piawai dalam mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat. Ditambah Beliau juga ahli dalam bidang sastra dan mampu membuat syair-syair jawa yang indah.
Dikarenakan ilmu-ilmu yang Beliau kuasai dan kepribadiannya itu, membuat Sunan Kalijaga termasuk sebagai salah satu “Walisongo” yang bergerak dibawah perintah Sultan Patah di Demak. Beliau diberikan tugas untuk berdakwah di wilayah-wilayah pedalaman yang rawan dengan kejahatan.
sumber: Copas dari https://informazone.com/sunan-kalijaga/

Saturday, 21 May 2016

Pesta Baratan

Propaganda Di Pesta Baratan (Pesta Lampion)
Om Swasti Astu, Mohon maaf Sebelumnya bila artikel ini sedikit taboo untuk dibicarakan, namun saya tekankan. saya tidak bermaksud mengompori ataupun menyinggung pihak manapun, karena ini pendapat saya. Opini saja, yang tidak dapat di jadikan suatu landasan apapun. dan saya melakukan kritik budaya berdasarkan masyarakat awam, dan warga biasa.

Dewasa ini masyarakat Jepara di kejutkan dengan tradisi di kalinyamatan dengan sosok wanita penunggang kudanya. Itulah Sang Ratu Kalinyamat menurut (Konsepsi Pesta Baratan) Namun secara Konseptual berbeda apa yang seharusnya di suguhkan dalam tradisi itu. Saya sangat mengapresiasi akan hal yang terjadi di lingkungan masyarakat purwogondo dan sekitarnya, dan saya juga turut berduka akan hal kegiatan itu. Saya sebut itu sebagai kegiatan propaganda. Apa yang melatar belakangi kegiatan itu? lalu apa yang menjadi manfaat serta sebab akibatnya? saya akan mengulas secara sedikit demi sedikit sesuai kritik budaya yang saya lakukan.
Cuplikan dari internet:
Salah satu tradisi masyarakat Jepara yang erat kaitannya dengan Ratu Kalinyamat adalah “Pesta Baratan”. Kata “baratan” berasal dari sebuah kata Bahasa Arab, yaitu “baraah” yang berarti keselamatan atau “barakah” yang berarti keberkahan.
Tradisi Pesta Baratan dilaksanakan setiap tanggal 15 Sya’ban (kalender Komariyah) atau 15 Ruwah (kalender Jawa) yang bertepatan dengan malam nishfu syakban. Kegiatan dipusatkan di Masjid Al Makmur Desa Kriyan Kecamatan Kalinyamatan. Ritualnya sederhana, yaitu setelah shalat maghrib, umat islam desa setempat tidak langsung pulang. Mereka tetap berada di masjid / musholla untuk berdo’a bersama. Surat Yasin dibaca tiga kali secara bersama-sama dilanjutkan shalat isya berjamaah. Kemudian memanjatkan doa nishfu syakban dipimpin ulama / kiai setempat, setelah itu makan (bancaan) nasi puli dan melepas arak-arakan. Kata puli berasal dari Bahasa Arab : afwu lii, yang berarti maafkanlah aku. Puli terbuat dari bahan beras dan ketan yang ditumbuk halus dan dimakan dengan kelapa yang dibakar atau tanpa dibakar.
Pesta Baratan sebenarnya Sudah ada kurang lebih sejak tahun 1999 bahkan sebelum itu , namun semua itu di patenkan dan di populerkan oleh para kiayi di desa kriyan. sehingga tercipta suatu hak mayarakat untuk merayakannya. Pesta Baratan Jatuh pada malam nisfu syaban, dan berlaku di tiap tahunnya. Para Peserta Membawa Lampion dan Obor untuk prosesi ritualnya,dan yang paling menarik adalah peserta prosesi selalu mengucapkan kata-kata mistis yaitu, TONG TONG JI TONG TONG JEDER…. selalu Berulang ulang dengan mengelilingi kampong. bahkan kata –kata tersebut sering kali diinovasian dengan penambahan penambahan yang sedikit inovatif, contohnya, TONG TONG JI TONG TONG JEDER… PAK KAJI NABUH EMBER.. dan seterusnya.


Kegiatan Bermula di Kalinyamat, sekitar Purwogondo , Margoyoso, Kriyan, Robayan dll


       Ada 2 versi cerita yang mendasari tradisi baratan yaitu:
- Cerita Versi Pertama
Sultan Hadirin (Sayyid Abdurrahman Ar Rumi) berperang melawan Aryo Penangsang dan terluka. Kemudian Sang isteri Nyai Ratu Kalinyamat (Retno Kencono) membawanya pulang ke Jepara dengan dikawal prajurit dan dayang-dayang. Banyak desa di sepanjang jalan yang dilewati rombongan diberi nama peristiwa menjelang wafatnta Sultan Hadirin. Salah satu contohnya adalah saat rombongan melewati suatu desa, mendadak tercium bau harum semerbak (gondo) dari jasad Sultan, maka desa tersebut sekarang kita kenal dengan nama Purwogondo.

- Cerita Versi Kedua
Setelah berperang melawan Aryo Penangsang, Sultan Hadirin tewas dan jenazahnya dibawa pilang oleh isterinya (Ratu Kalinyamat) pulang ke Jepara. Peristiwa itu berlangsung malam hari, sehingga masyarakat disepanjang jalan yang ingin menyaksikan dan menyambut rombongan Ratu Kalinyamat harus membawa alat penerangan berupa obor.

(Versi diatas saya cuplik dari internet)

Setahu Saya nama asli sultan hadiri adalah Win Tang dan Sultan adalah seorang pembisnis galangan kapal yang berada di Jepara dan Juwana (dalam Buku Gustami).
dan Kematian Sultan Hadiri itu karena di cegat oleh suruhan Aryo Panangsang dan di perangi untuk membunuh Sultan, dan sang Sultan tidak memerangi  dengan begitu cerita di atas sedikit cerita yang menjadi legitimasi (dalam Kisah di Buku Babad Tanah Jawi).

 Lalu apa yang menjadi masalah?
Masalahnya adalah kita lihat masyarakat kalinyamat begitu gembiranya ketika melihat arak-arakan Ratu Kalinyamat. Padahal Arak-Arakan Dengan Konsep Pesta Baratan Adalah Simbol kedukaan. lantas kenapa harus di hadirkan dengan keceriaan, dan sampai di namakan pesta. inilah yang di namakan Propaganda. Seharusnya Pesta Baratan adalah suatu symbol keceriaan dan bukan kedukaan itu sudah benar. namun ada yang salah, kenapa pesta baratan menghadirkan sosok Ratu Kalinyamat, bukankah hal ini akan membuka luka lama. kenapa? kita tahu sejarah Sultan Hadiri (Suami Ratu Kalinyamat) di Bunuh Oleh Arya Panangsang, dan sang sultan di bawa ke jepara, ketika melewati purwogondo dan sekitarnya masyarakat membawa lampion untuk orang cina dan obor untuk orang jawa. pertanyaan Saya adalah. Apakah ketika ada orang meninggal kita melakukan pesta? Opo Tanggamu Mati trus muk tanggepke Orkes Rek? Walaupun sebenarnya  Dari sisi agama, tradisi ini dianggap sebagai ritual penyucian diri bagi umat islam, apalagi pelaksanaannya menjelang puasa bulan Romadlon. Selain itu, tradisi ini menggambarkan semangat dan optimisme dalam menjalani hidup, disamping keteguhan dalam menghadapi berbagai cobaan. Semua itu terangkum dalam do’a nishfu syakban yang dipanjatkan.
Mari Kita Breakdown Persoalannya.
Alangkah baiknya bila tetap melestarikan Pesta Baratan Tanpa Mempertontonkan Ratu Kalinyamat. Karena Persoalannya Adalah PESTA.
Dan Kenapa memilih di malam nisfu syaban? alasannya adalah masyarakat akan gembira karena datangnya malam mulia. yaitu malam nisfu syaban. lantas apa hubungannya? inilah alasan para kiyai untuk memberikan tradisi itu di malam nisfu syaban, Bukankah kuliner yang di suguhkan itu fuli? dari bahasa arab yang berarti memaafkan. kita di harapkan memaafkan satu sama lain. dengan sebuah symbol penerangan hati yang menghadirkan obor dan lampion. Itulah yang Saya Sebutkan Pesta Baratan, Pesta Baratan memiliki arti Kegembiraan yang Barokah. bukan malah kegembiraan menyambut Ratu Kalinyamat Membawa Jenazah. Perlu di cermati ya cak. Lalu Kenapa Tidak Boleh Ada Unsur Ratu Kalinyamatnya?
Bukannya tidak boleh tapi kehati hatian kita dalam menerapkan suatu unsure budaya. Yang tidak boleh adalah, ketika kita Asumsi Judulnya Pesta Baratan tentu saja tidak masuk untuk arak-arakan semacam Ratu Membawa Kuda Bersama para sunan. Pasalnya Ketika masyarakat membawa jenazah itu tentu saja masyarakat meneranginya dengan penuh kedukaan, bukan kesenangan. dengan kata lain masyarakat akan mengartikan sesuai tafsir mereka yang berakibat melenceng. Boleh lah melakukan kegiatan arak-Arakan Ratu Kalinyamat, namun tidak bertepatan pada Pesta Baratan. Para Sesepuh Kiyai Pun sebenarnya Sudah memformulasikan semacam itu dengan penuh makna, seperti halnya kata kata mistis TONG TONG JI TONG TONG JEDER… ketika di telusuri makna dari kata-kata mitos itu mengingatkan kita tentang suatu kejadian . TONG TONG JI Maknanya Sesuatu Terjadi dan menewaskan seorang yang berpengaruh. TONG TONG JEDER Maknanya sesuatu itu akan menjadi persoalan yang besar (Geger Tanah Jawa) . Ketika TONG TONG JI TONG TONG JEDER memiliki makna Peringatan epada seluruh masyarakat tentang terjadinya satu peristiwa yang akan membuat gaduh seluruh tanah jawa (khususnya Jepara) /JI itu Siji (satu) JEDER itu Gemuruh (Geger/Kegemparan).
Sebab dan Akibatnya…
Ketika tradisi itu tetap dihadirkan dengan mempertontonkan arak-arakan Kalinyamat dari pada lampionnya akan sangat berakibat fatal bagi berlangsungnya tradisi itu sendiri. kenapa? dari tahun ketahun pesta baratan/lampion itu akan bergeser kepada arak-arakan. dan anak cucu kita akan memahami itu sebagai tradisi jepara yang patut di lestarikan walaupun lampion bergeser menjadi arakan kalinyamat. apalagi dengan Tradisi Pesta Baratan/Lampion yang melestarikan Penerangan (lampion) justru akan juga memakmurkan para penjual lampion musiman yang di jajakan oleh pedagang lampion di sekitar jalan Kalinyamat. namun ketika semua berubah menjadi arak-arakan semata, justru akan membumi hanguskan para pedagang lampion itu sendiri, peristiwa itu akan terjadinya gulung tikar antar pedagan lampion secara besar-besaran.
Kesimpulan
Kesimpulan dari tulisan saya kali ini adalah. Pesta Baratan yang sebenarnya adalah membawa penerangan dengan ucapan mistis untuk mengelilingi kampong. namun sekarang ini pembawaan semacam itu sudah berganti dengan sosok peran Ratu Kalinyamat membawa kuda. itu bagus. tapi secara tidak langsung telah menggeser arti dari pesta baratan itu sendiri. itulah yang saya sebut Propaganda dalam Tradisi. sehingga untuk masyarakat yang mengetahui artinya akan melihat makna yang di timbulkan. dan makna itu akan merubah pemikiran oleh masyarakat itu sendiri.


 Pesta Baratan yang benar adalah Pesta Lampion  (gambar dari Internet)

Ini Termasuk Pengembangan Dari Lampion (gambar dari Internet)

membuat masyarakat sejahtera dengan keadaan, apa lagi waktu kecil saya melihat pemandangan yang hebat di lingkungan masjid purwogondo yang banyak sekali pedagang, namun ketika menjadi arak-arakan, para pedagang semakin surut dan banyak gulung tikar. (gambar dari internet)
 Semoga artikel ini bermanfaat dan saya mohon maaf bila artikel saya menyinggung alayak/ masyarakat ataupun pihak tertentu, karena ini hanya opini saya, pendapat saya dan tidak bermaksud mengompori golongan tertentu,
matur suksmo. nuwun,Salam Rahayu. Om Santi Santi Santi


Sebenarnya pemikiran diatas sesui asumsi artikel saya tentang keraton kalinyamat (Silahkan untuk membaca)


SUMBER :  http://roizjepara.blogspot.co.id/2015/09/propaganda-di-pesta-baratan-pesta.html

Thursday, 3 September 2015

sejarah surakarta

Sejarah Surakarta



Asal usul

Kebangkrutan VOC sebagai kongsi dagang Belanda berakhir dengan dibubarkannya kongsi tersebut pada tanggal 1 Januari 1800 oleh Pemerintahan Kerajaan Belanda.Tanggung jawab VOC di Nusantara ini juga lantas diambil alih oleh kerajaan.

Pada waktu pembubaran terjadi, di Jawa kerajaan yang terbagi sudah menjalani suksesi untuk yang pertama kalinya sejak Perjanjian Giyanti (1755) dan Perjanjian Salatiga (1757).Kasunanan diperintah oleh Pakubuwana IV, Kasultanan diperintah oleh Hamengkubuwana II dan Mangkunegaran di perintah oleh Mangkunegara II.

Ketiga penguasa di Jawa itu dalam menghadapi perubahan zaman mengambil sikap yang berbeda. Semacam menganut suatu ideologi yang mendorong untuk bekerja demi kepentingan negara dan kerajaannya.

Mangkunegara II mengambil inisiatif yang cepat dengan datangnya Daendels ke Jawa. Legiun yang berkekuatan 1150 personil dibentuk tahun 1808 sebagai wadah untuk menampung dan membangun kembali kekuatan militer peninggalan pendahulunya. Legiun ini terdiri dari pasukan infantri, kavaleri atau pasukan berkuda dan artileri. Sri Mangkunegara II adalah Kolonel pertama dalam pasukan Legiun Mangkunegaran dengan kata lain dalam sejarah Legiun ini Adipati kedua di Mangkunegaran adalah pemegang jabatan komandan yang pertama kali.

Sri Mangkunegara II meski memiliki alasan kuat untuk membenci Belanda tetapi demi pembangunan militer yang kuat untuk sementara waktu mendahulukan kepentingan kerajaan dengan jalan mengundang perwira-perwira militer Belanda yang profesional untuk melatih dan menggembleng Korps Mangkunegaran ini.

Kekuatan militer Mangkunegaran yang dinamakan sebagai Legiun Mangkunegaran memiliki fungsi, (1) sebagai alat legitimasi Mangkunegara yang bertahta (raja), (2) sebagai alat untuk mengamankan dan tujuan diplomasi dari Praja Mangkunegaran.

Struktur Militer

Pada awalnya memiliki 2 perwira senior dengan pangkat mayor, 4 perwira letnan ajudan, 9 perwira kapitein, 8 perwira letnan tua, 8 perwira letnan muda, 32 sersan bintara, 62 tamtama kopral, 900 flankier, 200 dragonder (dragoon), dan 50 steffel (total 185 perwira dan 1150 prajurit). Seragam yang dipergunakan adalah; topi syako dan jas hitam pendek untuk bintara dan prajurit. Topi syako untuk perwira, kemudian jas hitam, dan celana putih (KOMPAS, 4 Oktober 2010).

Dari riwayat perjalanan legiun, Pasukan militer dari Mangkunegaran semula berjumlah sebelas pasukan;
  1. Ladrang Mangungkung Estri: 60 pasukan berkuda, bersenjata karbin wedung.
  2. Jayeng sastra: 44 berkuda, bersenjata keris.
  3. Bijingan: 44 berkuda, keris.
  4. Kapilih: 44 berkuda, keris.
  5. Taramrudita: 44 berkuda, pedang.
  6. Margarudita: 44 berkuda, pedang.
  7. Tanuastra Nampil: 44 berkuda, keris.
  8. Mijen: 44 berkuda, panah, keris.
  9. Nyutrayu: 44 berkuda, panah, keris.
  10. Gulanggula: 44 darat, panah, keris.
  11. Sarageni: 44 darat, panah, keris.
Setelah perjanjian Salatiga 17 Maret 1757, pasukan yang berjumlah sebelas ini kemudian ditambah lagi tiga puluh enam pasukan yang terdiri dari;
  1. Trunakroda: 44 darat, keris, pedang.
  2. Trunayudaka: 44 darat, keris, pedang.
  3. Minakan: 44 darat, keris, pedang.
  4. Tambakbana: 44 darat, keris, pedang.
  5. Tambakbrata: 44 darat, keris, pedang.
  6. Dasawani: 44 darat, keris, cengking.
  7. Dasarambat: 44 darat, keris, cengking.
  8. Prangtandang: 44 darat, panah, lawung, kris.
  9. Tirtasana: 44 darat, panah, lawung.
  10. Gunasemita: 44 darat, panah, slam, keris.
  11. Gunatalikrama: 44 darat, panah, slam, keris.
  12. Ciptamiguna: 44 darat, panah, keris.
  13. Sabdamiguna: 44 darat, panah, keris.
  14. Dasamuka: 44 darat, panah.
  15. Dasarat: 44 darat, panah.
  16. Maranggi: 44 darat, tombak separo, senapan separo.
  17. Nirbita: 44 darat, tombak separo, senapan separo.
  18. Trunaduta: 44 darat, tombak, gambuh.
  19. Trunasura: 44 darat, tombak, gambuh.
  20. Handakalawung: 44 darat, senapan.
  21. Handakawatang: 44 darat, senapan.
  22. Kauman: 44 darat, bandil.
  23. Danuwiratana: 44 darat, bandil.
  24. Danuwirapaksa: 44 darat, bandil.
  25. Madyautama: 44 darat, panah, keris, carabali.
  26. Madyaprabata: 44 darat.
  27. Madyapratala: 44 darat.
  28. Madyaprajangga: 44 darat
  29. Katawinangun: 44 darat, panah, pentung.
  30. Purwawinangun: 44 darat, panah, pentung.
  31. Singakurda: 88 darat, lawung, sulam.
  32. Brajawani: 44 darat, lawung.
  33. Maradada: 44 darat, lawung.
  34. Prawirarana: 44 darat, lawung.
  35. Prawirasakti: 44 darat, lawung.
  36. Sanaputra: 88 berkuda, karbin, keris,

Pembangunan Kekuatan

Legiun Mangkunegaran merupakan suatu kesatuan militer terbaik/termodern di Nusantara pada zamannya, artinya dalam kurun waktu yang sezaman kekuatan militer kerajaan kerajaan Nusantara ini tidak ada yang mampu menandingi kemoderenannya dalam satuan militer. Pembangunan kekuatan militer kerajaan secara periodik mencapai pasang surut sesuai dengan zamannya;
  1. Tahun 1808 Legiun Mangkunegaran memiliki; 1.150 prajurit yang terdiri dari 800 prajurit infanteri (Fusilier), 100 prajurit penyerbu (Jagers), 200 prajurit kavaleri (berkuda), dan 50 prajurit rijdende artileri (KOMPAS, 4 Oktober 2010)
  2. Tahun 1816 jumlah personilnya ada 739 serdadu kemudian sebanyak 800 orang.
  3. Tahun 1825-1830 jumlah personil militernya ada 1500 serdadu
  4. Tahun 1831 Jumlahnya berkurang menjadi 1000 serdadu.
  5. Tahun 1888 Pasukan Artileri berkekuatan 50 tentara ditiadakan dengan alasan krisis keuangan.
Untuk membentuk dan membangun militer yang modern dan tangguh pada zamannya dijalankan bentuk-bentuk pencapaian sebagai berikut:
  1. Reorganisasi kemiliteran
  2. Disusun buku panduan Sekolah Prajurit 1855
  3. Mendatangkan pelatif profesional ketentaraan dari Eropa; 1 kapten infanteri, 4 bintara infanteri, 1 letnan dan 1 bintara kavaleri.
  4. Tahun 1935 Legiun Mangkunegaran dibagi dalam staf yang memiliki; ajudan atau intendan, dokter militer, dan korps musik, dan batalyon dibagi dengan 6 kompi serta unit mitraliur
Sumber (https://id.wikipedia.org/wiki/Legiun_Mangkunegaran)
Sunting (Arief Setya)

Wednesday, 2 September 2015

SEJARAH WONOGIRI

Sejarah Wonogiri


Hikayat
Pada zaman Kerajaan Demak ada seorang pertapa sakti bernama Ki Kesdik Wacana. Dia tinggal menyendiri di salah satu gua yang termasuk dalam jajaran Pegunungan Seribu. Pegunungan ini dikelilingi hutan yang  penuh dengan pepohonan lebat dan alam yang indah. Tidak heran jika penguasa Demak pada waktu itu menjadikan sebagai hutan wisata raja dan tempat perburuan binatang.

Pada waktu-waktu tertentu, datanglah rombongan raja dengan pengiring dan senopatinya. Mereka berburu binatang, terutama Rusa. Sebagian hasil dari perburuan itu ada yang dihabiskan di tempat dan sebagian lagi biasanya dibawa kembali ke istana. Bekas tempat pesta pora itu pada akhirnya menjadi sebuah desa yang sekarang dinamakan Desa Senang, yang berarti tempat untuk bersenang-senang. Sampai sekarang desa itu masih ada.

Pada suatu ketika Raja Demak mengirimkan seorang utusan bernama Raden Panji untuk menemui pertapa Ki Kesdik Wacana. Melalui utusannya, Raja meminta kepada Ki Kesdik Wacana untuk membawa beberapa ekor rusa untuk dijadikan sebagai binatang peliharaan di Istananya. Ki Kesdik Wacana menyanggupi permintaan Raja.

Dengan kesaktiannya Ki Kesdik Wacana memasukkan rusa-rusa itu dalam bumbung, rongga pada ruas pohon bambu petung dan kemudian disumbat. Bumbung tersebut kemudian diserahkan kepada Raden Panji disertai dengan pesan khusus.

"Raden Panji, bumbung ini berisi rusa-rusa yang dikehendaki oleh sang Prabu. Sengaja aku masukkan ke dalam bumbung ini supaya Raden Panji mudah membawanya. Lagi pula perjalanan dari sini ke Keraton cukup jauh. Namu ingat pesanku, jangan coba-coba sekalipun membuka isi dari bumbung tersebut sampai bumbung tersebut telah ada di hadapan Raja."

"Terima kasih bapak pertapa, saya akan selalu ingat pesan itu" kata Raden Panji dengan penuh hormat.

Dalam perjalanan pulang kembali ke Demak, pikiran Raden Panji dipenuhi oleh berbagai macam pertanyaan yang tidak bisa terjawab oleh Raden Panji sendiri. Menurut dia tidaklah masuk akal rusa-rusa yang diminta oleh sang Prabu dimasukkan ke bumbung ini. Ini sangat tidak logis.

Meskipun begitu, Raden Panji tetap ingat pesan Ki Kesdik Wacana untuk tidak membuka bumbung itu sampai di hadapan Raja. Raden Panji pun akhirnya membatalkan keinginannya untuk membuka bumbung tersebut.

Dalam perjalanan pulang, karena lelah Raden Panji singgah sebentar di sebuah hutan jati yang lebat. Saat melepas lelah, pandangan Raden Panji terus memandang bumbung tersebut dengan perasaan heran. Karena terus memandang bumbung tersebut, akhirnya Raden Panji membuka bumbung tersebut untuk mengetahui isinya.

Namun ketika sumbat bumbung dibuka, Raden Panji kaget bukan kepalang melihat kejadian aneh. Dalam keadaaan yang masih terbengong, tiba-tiba dari bumbung tersebut keluar hewan kecil yang makin lama makin membesar. Ternyata hewan-hewan itu adalah rusa-rusa yang berjumlah 16 ekor atau 8 pasang. Dan kesemuanya dengan cepat segera masuk ke hutan kembali.

Raden Panji yang segera sadar dari kekagetannya itu, langsung  segera berlari cepat ke hutan untuk mengejar rusa-rusa itu sampai kopiahnya jatuh ke tanah. Namun beliau tidak menghiraukan kejadian tersebut. Walau usahanya untuk mengejar rusa-rusa itu sia-sia.


Bukan main sedih dan menyesal hati Raden Panji akibat kecerobohannya itu. Raden Panji hanya bisa jatuh tertunduk malu dan lesu. Tidak tahu apa yang harus diperbuatnya. Mau balik ke Demak takut terken murka Raja. Mau kembali tempat pertapaan Ki Kesdik Wacana takut terkena makian.


Untunglah Ki Kesdik Wacana yang sakti dapat segera mengetahui peristiwa itu. Oleh karena itu Ki Kesdik segera menyusulnya. Dalam perjalanan menyusul Raden Panji, Ki Kesdik sempat menemukan kopiah Raden Panji yang terjatuh. Pertapa sakti itu pun berkata, wahai bumi dan langit saksikanlah bahwa tempat ini sejak saat ini aku beri nama Wana Kethu. Jadilah tempat itu sampai sekarang bernama Wana Kethu. 'Wana' berarti hutan dan 'Kethu' artinya kopiah.

Tidak berapa lama Ki Kesdik Wacana segera menemukan tempat Raden Panji. Melihat kehadiran Ki Kesdik Wacana, Raden Panji pun sangat kaget.

"Mohon ampun bapak, hamba telah berbuat lancang membuka sumbat bumbung itu dan mengakibatkan hewan-hewan yang ada di dalam bumbung itu keluar semua. Sekarang hamba pasrah menerima hukuman dari bapak pertapa" kata Raden Panji bersedih.

Mendengar pengakuan Raden Panji, sang pertapa merasa kasihan tetapi yang bersalah tetap harus menerima hukuman.

"Raden Panji, ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu adalah utusan raja yang telah diberi amanat. Sayang sekali kamu tidak dapat melaksanakan amanat itu. Oleh karena itu kamu tetap mendapat hukuman. Mulai sekarang, janganlah kamu berwujud manusia, tetapi jadilah kamu seekor  Rusa Wulung penunggu hutan jati ini" kata Bapak Pertapa

Begitu selesai ucapan bapak pertapa itu, seketiak tiba-tiba dunia menjadi gelap gulita dan di langit terdengar suara petir menyambar-nyambar. Semua seakan menjadi saksi atas segala ucapan bapak pertapa.

Memang benar keadaanya. Secara mendadak Raden Panji yang asalnya manusia berubah menjadi rusa jantan yang sangat gagah dengan bulu wulungnya. Raden Panji yang sudah berubah menjadi rusa itu menangis dan bersimpuh di hadapan pertapa sakti tersebut.

"Hukuman ini terlampau berat bagi Hamba, Bapak. Mohon bapak sudi mencabutnya," ratap rusa wulung penjelmaan Raden Panji.

Namun penyeselana tinggal penyesalan, Raden Panji harus mengalami kehidupan baru sebagai pemimpin pasangan rusa yang dahulu dilepasnya di Wana Kethu.

Sesudah peristiwa di Wana Kethu itu, Ki Kesdik Wacana naik ke atas bukit kecil tak jauh dari situ. Sesampai di puncak bukit itu, ia berhenti sesaat untuk mengagumi keindahahan alam di bawahnya.

"Bukit ini begitu indah. Besok kalau ada keadaan zama sudah ramai, bukit ini aku namai dengan Gunung Giri. sedangkan sungai yang mengalir dibawahnya aku namakan Sungai Wahyu. Sekarang nama sungai ini adalah Bengawan Solo." kata Ki Kesdik Wacana

Pada suatu ketika dalam kesempatan yang lain, Sunan Giri dalam pengembaraanya sampai di tempat yang dahulu dikunjungi Ki Kesdik Wacana. Sama dengan Ki Kesdik Wacana, Sunan Giri juga mengagumi keindahan alam hutan yang sangat luas dengan alamnya yang berbukit-bukit. Sunan Giri pun berkata "Besok kalau ada keramaian zaman, tempat ini aku namai Wonogiri".

Wono atau Wana berarti 'hutan', sedangkan Giri berarti 'Gunung'. Demikianlah tempat yang berhutan lebat dan bergunung-gunung itu sampai sekarang bernama Wonogiri yang terletak di Propinsi Jawa Tengah.

Sunting Arief Setya

Sejarah Asal Usul Banyumas

Sejarah Asal Usul Banyumas



Sejarah
Berbicara Kabupaten Banyumas pasti tidak lepas dari Desa Kejawar yang merupakan cikal bakal kabupaten dan karsidenan Banyumas. Karena di Desa Kejawar  R. Joko Kahiman dibesarkan oleh paman dan bibinya (Kyai Mranggi Semu dan Nyai Mranggi Semu / Rara Ngaisah). Hal ini karena ayahanda R. Joko Kahiman (R. Banyaksosro) meninggal pada usia muda, sedangkan R. Joko Kahiman masih kecil. Kyai Mranggi Semu merupakan pembuat warangka keris dan garan pacul. Terkait masa kecil dan dididiknya R. Joko Kahiman di Kejawar ini, maka tidak berlebihan kalau dikatakan Kyai dan Nyai Mranggi Semu sangat besar jasanya dalam menggembleng seorang Satria Banyumas yang nantinya akan dikenal karena kebesaran hatinya membagi empat Kadipaten Wirasaba sehingga disebut Adipati Mrapat, Adipati Warga Utama II, Adipati/Bupati Banyumas I.

Kyai Mranggi Semu Wafat dimakamkan di Desa Kejawar sedangkan Nyai Mranggi (Rara Ngaisah) di Desa Binangun terletak 10 km ke arah barat Alun-alun Kecamatan Banyumas, atau 5 km ke arah barat Kompleks Makam Bupati Banyumas di Dawuhan. Makam Nyai Mranggi (Rara Ngaisah) ini terletak di Dusun Wanasepi, Binangun, di atas bukit, di tengah rerindangan pohon (dahulu di tengah hutan, sehingga ada yang mengatakan Karangtengah, karena berada di atas bukit yang dikelilingi hutan). Rara Ngaisah, atau lebih dikenal sebagai Nyai Mranggi, adalah adik kandung R. Banyaksosro (ayahanda R. Joko Kahiman). Menurut cerita, setelah Kyai Mranggi Semu di Kejawar meninggal dunia, maka Nyai Mranggi mengembara di berbagai daerah sekitar Kecamatan Banyumas (kini), sampai tiba di Dusun Wanasepi, Desa Binangun, di mana dia meninggal dunia dan dimakamkan.

Riwayat singkat Raden Djoko Kahiman ( Bupati Banyumas ke I )
Djoko Kahiman atau Raden Djoko Semangoen adalah putra Raden Harjo Banjaksosro Adipati Pasir Luhur yang sejak kecil diasuh dan diambil anak angkat oleh Kjai dan Njai Mranggi Semoe di Kejawar. Kjai Mranggi sebenarnya namanya adalah Kjai Sambarta dan Njai Mranggi adalah Njai Ngaisah. Setelah Raden Djoko Kahiman dewasa lalu mengabdikan dirinya pada Kjai Adipati Wirasaba yang bernama Adipati Wargo Oetomo I dan akhirnya Raden Djoko Kahiman menjadi menantu Wargo Oetomo I, dinikahkan dengan putri sulungnya yang bernama Rara Kartimah.

Suatu ketika Adipati Wirasaba mendapat titah Sultan agar mempersembahkan salah seorang putrinya untuk dijadikan garwa ampean. Oleh Sang Adipati dipersembahkan putri bungsunya yang bernama Rara Soekartijah, yang pada masa kecilnya pernah dijodohkan dengan putra saudaranya yaitu Ki Ageng Tojareka, namun setelah  dewasa Rara Soekartijah menolak untuk berumah tangga dan bercerai sebelum berkumpul. Sakit hati Ki Ageng Toyareka kemudian membuat fitnah yang menyebabkan murka Sultan Pajang dan menyuruh Gandek supaya membunuh Adipati Wirasaba dalam perjalanan pulang tanpa penelitian terlebih dahulu. Tetapi sesudah diteliti menyesallah Sultan Pajang, kemudian menyuruh Gandek untuk menyusul Gandek terdahulu supaya membatalkan rencana membunuh Adipati Wargo Oetomo I, namun sudah terlambat. Tempat terjadinya di Desa Bener, maka Adipati Wargo Oetomo I juga terkenal dengan sebutan Adipati Sedo Bener, sedangkan makam dia di pasarehan Pakiringan, sebelah timur kota Banyumas, sekarang masuk wilayah Purworejo Klampok.

Penyesalan Sultan Pajang kemudian menitahkan memanggil putra Adipati Wirasaba supaya menghadap ke Kesultanan Pajang, namun semua putra Wargo Oetomo I tidak ada yang berani menghadap, akhirnya dengan jiwa heroik dan patriotis karena anggapannya akan dibunuh juga, berangkatlah Raden Djoko Kahiman menghadap Sultan Pajang. Di luar dugaan Raden Djoko Kahiman malah diangkat menjadi Adipati Wirasaba II dengan gelar Adipati Wargo Oetomo II untuk menggantikan Adipati Wargo Oetomo I yang telah wafat karena kesalah pahaman. Sultan Pajang memberikan segala kebijaksanaan Kadipaten Wirasaba kepada Wargo Oetomo II.

Dengan kebesaran jiwanya Adipati Wargo Oetomo II tidak ingin mementingkan dirinya sendiri (mukti sendiri), karena dia adalah anak mantu, maka mohon restu agar diperkenankan untuk membagi daerah kekuasaan Wirasaba menjadi 4 daerah. Menurut penelitian dan hasil seminar, hari, tanggal, bulan, tahun diangkatnya Raden Djoko Kahiman menjadi Adipati Wirasaba II yang bergelar Adipati Wargo Oetomo II adalah : Jumat Kliwon, tanggal 12 Rabiul awal 990 H bertepatan dengan tanggal 6 April 1582 M. Sekembalinya dari Pajang maka Raden Djoko Kahiman yang telah diangkat menjadi Adipati Wirasaba II, dia membagi daerah kekuasaannya menjadi empat, yaitu :
1.   Banjar Pertambakan diberikan kepada Kjai Ngabehi Wirojoedo
2.   Merden diberikan kepada Kjai Ngabehi Wirokoesoemo
3.   Wirasaba diberikan kepada Kjai Ngabehi Wargowidjojo
4.   Sedangkan dia R. Djoko Kahiman/Kjai Adipati Wargo Oetomo II/Warga Hutama II, merelakan kembali ke Kejawar dengan maksud mulai membangun pusat pemerintahn yang baru. Selanjutnya R. Djoko Kahiman sebagai Bupati Banyumas ke I.  Ketiga saudaranya berterimakasih dan tetap tunduk kepada Adipati Wargo Oetomo II yang diangkat sah oleh Sultan Pajang.

(Oleh Nurgiyanto, S.Pt.  Sastrawan Perunggasan Indonesia tinggal di Desa Kejawar) Diambil dari berbagai sumber  di Posting 11.12.13

Sunting Arief Setya

Sejarah Asal Usul PROBOLINGGO

Sejarah Asal Usul Probolinggo



Sejarah
Jika kita berbicara tentang sejarah lahirnya kota Probolinggo, kita tidak akan lepas dari sejarah kerajaan besar yang pernah berdiri di pulau Jawa, yaitu kerajaan Majapahit. Pada zaman pemerintahan Raja Majapahit ke IV, yaitu Prabu Radjasanagara atau Sri Nata Hayam Wuruk (1350-1389), daerah Probolinggo dikenal dengan nama “Banger”, sesuai dengan nama sungai yang mengalir ditengah daerah ini. Di dalam Kakawin Nagarakertagama, Prapanca, pujangga Majapahit yang terkenal menyebutkan bahwa  Banger, yang semula merupakan pedukuhan kecil di muara kali Banger berkembang menjadi Pakuwon yang dipimpin oleh seorang Akuwu di Sukodono di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Pada saat Bre Wirabumi (Minakjinggo) bertahta sebagai Raja Blambangan, Banger  masuk ke dalam daerah kekuasaan Bre Wirabumi. Perselisihan  menyebabkan Banger yang merupakan perbatasan antara Majapahit dan Blambangan menjadi kancah peperangan antara Bre Wirabumi (Blambangan) dengan Prabu Wikramawardhana (Majapahit) yang dikenal dengan sebutan “Perang Paregreg”.

Perjalanan Hayam Wuruk
 
Prapanca mencatat bahwa setelah berakhir musim dingin (musim hujan), , Hayam Wuruk sebagai raja sering mengadakan perjalanan untuk mengunjungi daerah terdekat seperti Jalagiri, Blitar, Polaman, Daha dan sebagainya, termasuk desa Perdikan Jalagiri yang terletak tidak jauh di sebelah Timur Majapahit, serta Wewe Pikatan di Candi Lima, dengan jalan kaki saja. Beliau juga suka berkunjung ke Palah untuk berziarah ke Candi Siwa, lalu ke Blitar , Jimur Silaahrit, Polaman, Daha, Janggalah.
  
Menurut Prapanca, Prabu Hayam Wuruk pernah mengunjungi Panjang diiringi oleh segenap pembesar pemerintah pusat pada tahun Saka 1275 (Masehi); serta Pantai Selatan pada tahun saka 1276 (Masehi 1357). Perjalanan tersebut menembus hutan belantara hingga ke Lodaya, Teto dan Sideman. Pada tahun Saka 1281 (Masehi 1359) bulan Badra (Agustus-September) Beliau juga mengunjungi Lumajang.
 
Dalam Kakawin Nagarakertagama (sebenarnya bernama Decawarnana), Prapanca memberikan uraian yang cukup lengkap tentang perjalanan ini hingga kita dapat mengetahui desa-desa dan daerah-daerah yang dikunjungi dalam perjalanan itu. Pupuh 80/4 menyatakan bahwa perjalanan keliling daerah yang dilakukan oleh Sri Nata Hayam Wuruk memiliki tujuan menghapus semua durjana dari wilayah kerajaan Majapahit.
     
Tentang perjalanan ini, R. Ng Yosodipura, Pujangga Surakarta Hadiningrat, menulis:
        
"Prabu Hayam Wuruk sajroning andong lelono anjajah praja ing tanggap warsa 1359, tahun candra nalungsure in jurang terpis, tumekeng perenging wuki Temenggungan tumuju ing argo Tengger ing Mada Karipura. Tumurun ing tepising wonodrikang banger ambeting warih, Sang Prabu manages ing ngarsanging Dewa, denyo nerusake lampah marang Sukodono ing wuwus nyuwun nuggroho supoyo tansah pinanjungan ing Hyang Widi bisa tansah kaleksanaan ing sediyo. Kang dadi ubayane ing wuri utusan pawongan ing Wono Banger babat Wono Gung mrih saranan ing rejaning projo ing wuri.
       
Kasigek caritaning lampah, Sang Prabu sank Pungguwo cantang balung kinen angungak ing projo sadeng sawusnyo prang pupuh. Dening Sang Prabu wus kinaryo penggalihan in sumangso kelempahan kang katur babat wono gung arso pinaringan aprasanti dadio tungguling projo anyar aselisih akuwu kadipaten Sukodono Lumajang, Prasetianing sang noto ing tepising wonodri katiti ing mongso wanchi purnomo angglewang (lingsir), respati arinipun. Sang noto Rejosonenoro andon lelono ing brang wetan tumekeng manguni Blambangan lan saindenging brang wetan."
 
Terjemahan dalam bahasa Indonesia kira-kira:
     
"Prabu Hayam Wuruk selama berkelana keliling negara pada tahun 1359, candra tahun: nalungsure ing jurang terpis (1359), tiba di lereng gunung Tumenggungan dan menuju ke gunung Tengger di Madakaripura.  Pada saat turun dan sampai di tepi sungai yang airnya berbau banger (anyir), Sang prabu memohon anugerah kepada Dewa agar dalam kelanjutan perjalanannya ke sukodono selalu dipayungi/ dilindungi Sang Hyang Widi dan bisa terlaksana sesuai rencana. Yang menjadi upayanya kemudian, sang prabu menyuruh orang-orang yang tinggal di (sekitar) Hutan Banger untuk membuka Hutan agar menjadi sarana berkembangnya praja/ wilayah/ kota/ daerah (banger) di kemudian hari.
       
Singkat cerita, Sang Prabu dan rombongan meninjau daerah Sadeng yang dulunya bekas ajang perang sadeng (berziarah???) dan kemudian Sang Prabu memutuskan mengangkat kepala daerah baru untuk daerah yang baru dibuka -Banger- dibawah pemerintahan Akuwu kadipaten Sukodono Lumajang. Janji (ketetapan/ keputusan) Sang Nata di tepi hutan tercatat pada bulan Purnama condong, hari Kamis. Sang Nata Rejosonegoro berkelana di daerah Timur sampai menjumpai Blambangan dan pelosok daerah timur."
  
Perintah Prabu Hayam Wuruk untuk membuka hutan Banger (babat alas Banger) tersebut jatuh pada tanggal 4 September 1359, dan ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Probolinggo.

Wilayah-wilayah Probolinggo Dalam Kakawin NagaraKertagama
  
Kakawin Nagarakertagama dengan jelas menyebut nama-nama desa (daerah) yang tidak asing lagi bagi masyarakat Probolinggo, yaitu Borang, Banger, dan Bermi. Nama-nama desa tersebut dituliskan pada Pupuh XXI/1 dan XXXIV/4. Desa Baremi (penduduk asli lebih mengenalnya dengan sebutan Bremi) terletak di Kelurahan Sukabumi Kota Probolinggo. Borang, sekarang bernama Kelurahan Wiroborang sebagai paduan antara Wirojayan dan Borang. Desa Banger yang terletak di antara Bremi dan Borang, sekarang merupakan pusat Kota Probolinggo.
  
Nama Banger sampai sekarang masih dikenal sebagai nama sungai yang mengalir tepat di tengah Kota Probolinggo. Sungai dengan aliran kecil yang lebih tampak seperti saluran pembuangan berbau busuk. Hingga tahun 1900-an, sungai ini masih jernih dan lebar sehingga banyak perahu dagang dari Madura dapat masuk berlabuh di pusat perdagangan yang terletak di sekitar jalan Siaman sekarang. Pada jaman dahulu tempat ini merupakan sebuah teluk, yang disebut “Tambak Pasir”. Kira-kira tahun 1928 sebagian dari sungai ini ditimbun (diurug) dan dijadikan jalan yang sebagian menjadi Jalan Siaman dan Jalan KH. Abdul Aziz.
 
Ada mitos yang cukup populer di kalangan masyarakat Probolinggo bahwa nama Kali Banger di berikan karena air sungai tersebut berbau banger / amis oleh darah Minak Jinggo yang dipenggal kepalanya oleh Raden Damarwulan. Jika yang dimaksud dengan pertarungan antara Minak Jinggo dengan Damarwulan ini adalah peperangan antara Bre Wirabumi dengan Raden Gajah yang terjadi pada tahun 1404-1406 (Perang Paregreg), maka anggapan tersebut secara logis tidak benar. Perang Paregreg terjadi pada tahun 1404-1406, sedangkan Prapanca dalam buku Nagarakertagama yang ditulis pada tahun 1365 sudah menyebut nama Banger. Mengingat nama Banger sudah ada kira-kira sejak tahun 1359 Masehi, maka mitos yang lebih "masuk akal" adalah bahwa bau banger itu disebabkan oleh bau darah dan mayat-mayat yang terjadi akibat peperangan antara Majapahit dengan Lumajang pada ”Pemberontakan Nambi, Aria Wiraraja” pada tahun 1316 Masehi.